Chapter 38

19.9K 1.9K 395
                                    

Tandai kalau menemukan typo. Sorry cz belum sempat direvisi. Ini sedang buru-buru mau ke RS. Doakan operasi berjalan lancar ya.

****

Sekecil apa pun suatu perdebatan, itu sudah sangat cukup untuk mencanggungkan suasana. Seperti Alfred dan Seleste, perdebatan kecil mereka tadi berakhir dengan membuat keduanya menjadi kaku hingga sama sekali tak ada yang berbicara.

Perjalanan menuju rumah otomatis terasa panjang, jauh, dan menggelisahkan. Entah mengapa, malam ini pun anginnya lebih kencang dari malam-malam kemarin. Menambah kedingingan dalam nuansa canggung suami istri nan tengah membisu di dalam mobil ini.

Karena Alfred hanya fokus mengemudi, Seleste lalu putuskan untuk bermain ponsel saja. Belum lama, sekitar lima menit perempuan itu bermain ponsel, tiba-tiba Alfred berhentikan mobil mereka di tepi jalan.

Seleste mengangkat wajah melihat suaminya. "Kenapa?" tanya perempuan itu akhirnya. Memecah keheningan.

Alfred juga melihat ke arah Seleste, lebih tepatnya, pria itu melihat ke sebuah bangunan di belakang kepala Seleste. "Tertarik singgah sebentar di situ?"

Tanpa bertanya Seleste lantas menengok ke samping, ke arah yang dimaksudkan Alfred. "Bar?"

Seleste kembali menatap suaminya. "Kau mau kita masuk ke sana?"

"Kenapa tidak?" sahut Alfred seraya memutar penuh setir kemudi. Berbelok masuk ke halaman bar yang telah dipenuhi oleh berbagai merk mobil. Dari yang standar hingga mobil yang telah dimodifikasi, semuanya berkumpul di halaman bangunan bertingkat dua itu.

Tertulis nama bar tersebut di paling atas; Night With São Paulo.

"Kau yakin? Hey, aku tak pernah masuk ke tempat-tempat seperti ini sebelumnya." Seleste panik. Selain ia tak pernah bermain di dalam bar, penampilannya juga terlalu formal untuk memasuki dunia malam seperti ini.

"Aku pun belum pernah," kata Alfred kemudian turun dari mobil.

"Omong kosong." Seleste menyusul setelah meninggalkan tasnya di dalam kendaraan mereka.

Percuma saja Alfred membohongi Seleste. Mata pria itu bahkan tersenyum menunjukkan bila ia memang berbohong. Lagi pula, aneh saja jika pria seperti Alfred ini belum pernah menginjakkan kakinya di dalam sebuah bar atau diskotik. Itu mustahil, pikir Seleste.

Setelah berbincang singkat dengan dua bodyguard penjaga pintu masuk dan menunjukkan kartu tanda pengenal, Alfred kemudian masuk sembari memegang satu tangan Seleste romantis. Mereka berjalan di lorong yang bercahaya biru, dan dentuman musik pun mulai terdengar seolah jauh dari arah dalam.

Langkah kedua orang itu lalu terjeda sebab terdapat pintu kaca raksasa nan membentengi. Dan ketika Alfred membuka pintu kaca di hadapan mereka saat ini, Seleste sontak merinding merasakan perubahan suasana yang membuatnya merasa seperti, ini bukan dunianya, tempat ini tidak cocok dengannya.

Suara musik yang tadi hanya terdengar samar-samar seakan sangat jauh, seketika berdentum amat kencang hingga mampu menggetarkan dada Seleste. Aroma kuat alkohol di mana-mana, di setiap titik sudut, dan bahkan seolah menempel di hidung Seleste.

"Tempat macam apa ini?" komentar Seleste. Pipinya memanas, ia ingin gila melihat banyaknya pasangan yang saling memagut bibir seraya meremas dada perempuan mereka, berjoget intim, bahkan di satu sudut, ada pria dan wanita yang sedang bercinta dengan posisi berdiri.

Seleste pening seketika, berpikir, beginikah budaya mereka? Di mana rasa malu manusia-manusia itu? Ke mana otak mereka? Apa mereka sadar dengan apa yang mereka lakukan? Kenapa bisa setidakwaras itu?

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang