Chapter 14

24.8K 2.1K 415
                                    

Mention kalau ketemu typo.
Happy reading.

****

"Tolong berhenti. Aku mau muntah."

Buru-buru Valdos menepikan mobil. Tepat, pas sekali dengan mereka yang berhenti di depan sebuah restaurant selalu ramai pengunjung. Restaurant yang dulu sering sekali Alfred makan di sana bersama Florence, dan dua kali bersama Seleste.

Sekarang pukul sebelas malam. Valdos dan Alfred baru kembali dari penginapan rekan bisnis mereka setelah mengobrol intens mengenai pekerjaan, lantas menutup pembahasan mereka dengan minum alkohol dingin bersama.

Valdos juga minum sebagai tanda saling menghargai, tapi hanya sedikit, cuma sekitar tiga gelas. Sementara Alfred, pria itu minum satu botol seorang diri dengan campuran sprite. Alfred setengah mabuk, itulah mengapa Valdos yang mengambil alih mengemudi.

Di tepi jalan raya Alfred berjongkok, dia muntah namun hanya air dan cairan bening yang keluar. Perutnya kosong, dari siang dia tidak makan, tidak mengemil apa pun, dan terus merokok bahkan malamnya ini dia minum. Valdos sampai mendecakan lidah, dia tepuk-tepuk bahu Alfred dan saat melihat muntahan adiknya, dia tahu Alfred belum memakan apa pun.

"Bagaimana badanmu tidak jatuh tiba-tiba begini? Lihat muntahmu, hanya air. Ke mana isi perutmu?"

Alfred muntah lagi. Dia batuk-batuk, membuang ingusnya dan kembali muntah hingga punggungnya gemetar. Pria itu mengerang, hidungnya terasa pedis.

"Sial. Ususku terasa ingin keluar," umpatnya.

"Itu karena kau tidak makan apa pun."

Tidak makan, sakit, banyak pikiran dan ditambah lelah. Valdos tidak heran jika Alfred bisa langsung mendadak agak mengurus hanya dalam kurun waktu satu minggu. Kalau terus begitu, mungkin Alfred bisa mati dalam waktu dekat. Terlebih adiknya terus merokok dan tak pernah menolak bila diajak minum.

"Bangun. Kita pulang dan akan kubuatkan kau makanan," kata Valdos. Setegas apa pun dia pada Alfred, Alfred tetaplah adiknya. Dia takkan siap melihat adik satu-satunya tewas secepat ini.

Baru saja Alfred berdiri lalu ia beserta Valdos berbalik badan ke arah restaurant di depan sana, di seberang jalan, sebuah balok seakan menghantam dada Alfred hingga pria itu membeku seketika.

Dengan sekali tarikan napas dalam Alfred coba memperjelas pandangannya yang buram.

"Sely," gumamnya lirih.

Valdos diam, matanya pun melihat ke depan sana, kepada Seleste yang keluar dari pintu restaurant bersama seorang pria yang tidaklah asing. Valdos mengenal pria itu, bahkan kedua orang tuanya pun Valdos kenal.

"Miguel Gordon," celetuk Valdos lalu melihat Alfred di samping. "Sejak kapan mereka saling kenal?"

Alfred tak bisa mendengar apa pun, termasuk suara Valdos. Telinganya seolah tuli, dunia yang berisik ini mendadak hening dengan waktu nan seakan berhenti berputar. Apa yang dia takutkan, apa yang dia khawatirkan dan dia cemaskan, di depan matanya kini semua itu terjadi.

Seleste menemukan prianya.

Jantung Alfred berdenyut satu kali dengan kencangnya, seperti membenarkan tebakan pria itu. Napas Alfred berubah kasar, tersengal dan menjadi sesak.

Tanpa merespon Valdos dan tanpa melihat kendaraan yang hendak berlalu-lalang, hanya dengan mata lurus ke depan Alfred berjalan cepat, sempoyongan menyeberang jalan sampai-sampai ia buat sebuah taksi memelan seketika.

"Terima kasih. Lain kali biarlah aku yang membayar." Senyum Seleste merekah. Ia tidak enak hati sebab Miguel membayarkan makan malamnya.

"Tidak perlu sungkan. Akulah yang berterima kasih karena berkatmu, makan malamku jadi lebih menyenangkan sebab ada yang bisa kuajak berbincang," balas Miguel. Tegak ia berdiri, memandang Seleste dengan sopan, tergambar kekaguman dalam sorot matanya.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang