Obat kesedihan ialah kesibukan. Terlampau sibuk dan terus memiliki jadwal nan padat, Seleste sanggup melupakan permasalahannya bersama Alfred—hingga tak terasa satu minggu telah berlalu.
Satu minggu sudah mereka sama sekali tak berkabar, tak saling mengetahui aktivitas masing-masing, pun tak pernah bertemu di mana pun itu.
Mereka kembali seperti dulu; saling menghilang dan menjauh, saling melupakan—meski hati merindukan satu sama lain.
Meninggalkan sejenak semua jadwal pekerjaan dan kuliahnya, Seleste lalu hadir di sebuah perayaan anak tahunan. Kegiatan mulia ini telah Seleste ikuti selama tiga tahun berturut-turut. Ia hadir sebagai seorang penyumbang dana sekaligus pembicara di perayaan anak tersebut yang dihadiri oleh sekitar 500 orang anak-anak dari yayasan.
Setiap tahunnya, perayaan ini selalu diadakan oleh salah satu yayasan terbesar di São Paulo. Siapa pun boleh berpatisipasi di dalamnya.
Seleste memberi banyak hadiah, bahkan memberi dana pengobatan gratis kepada beberapa orang anak berkebutuhan spesial. Ia menyumbangkan kursi roda untuk semua anak-anak yang keterbatasan fisik, operasi gratis untuk 50 anak, juga 1.000 pasang seragam sekolah untuk seluruh anak-anak di yayasan tersebut.
Dan jauh sebelum Seleste ikut andil dalam kegiatan itu, menjadi salah satu perempuan berhati mulia dan dermawan, Alfred sudah lebih dulu dikenal sebagai pria dermawan dan paling setia di seluruh penghuni yayasan besar tersebut.
Jika hari ini Alfred hadir, maka ini merupakan di tahun ke delapan pria itu menjadi penyumbang serta kebahagiaan bagi anak-anak di sana. Seleste pun tahu, Alfred sudah lebih dulu aktif dalam kegiatan luar biasa yang melibatkan banyak anak-anak ini.
Di dua tahun sebelumnya, mereka selalu bertemu di sini. Seleste ingat tahun kemarin Alfred berbicara di atas podium, riang dan ceria, menghibur para anak-anak hingga mereka semua tertawa. Termasuk Seleste.
Seleste turun dari mimbar usai berbicara, diiringi ramainya tepuk tangan juga senyum lebar para anak-anak yang bahagia. Perempuan itu lalu duduk di barisan kursi paling depan, bersama sosok-sosok dermawan lainnya yang menunggu waktu mereka untuk berbicara.
Dari enam kursi yang tersedia, ada satu kursi yang masih kosong, dan kursi itu berada di ujung kanan—sementara Seleste duduk di ujung kiri.
Itu kursi Alfred, batin Seleste tepat sasaran.
Melupakan kursi Alfred yang kosong, Seleste fokus memperhatikan ke depan, mengamati seorang pria dermawan yang menyumbangkan sejumlah besar uang untuk membangun perpustakaan yayasan, dan memberikan banyak buku-buku gratis.
Tiba-tiba terdengar sorakan heboh para anak-anak di belakang. Suasana mendadak ramai juga Seleste mendengar mereka semua menyebut-nyebut nama Alfred.
"Paman Alfred..." Anak-anak itu memanggil. Anak-anak yang telah menjadi saksi sedermawan, semulia, dan setulus apa sosok Alfred selama delapan tahun ini.
Tanpa Seleste harapkan, matanya lantas memandang ke sana; kepada Alfred yang baru muncul dari balik pintu. Pria itu memakai masker, ia menunduk sebab ada pria lainnya yang berbisik-bisik dan mereka tampak tergesa-gesa. Itu manajer Alfred.
Alfred terlihat mengangguk, balas berbisik lalu bergontai menuju titik ramai. Duduk di kursinya.
Melirik, dari tempatnya Seleste melihat Alfred di situ. Pria itu melepaskan maskernya, tampak kini hidung tingginya memerah. Dia flu.
"Selain berhati dermawan, suamimu juga sangat tampan," bisik wanita tua di sebelah Seleste. Si pemilik yayasan.
Suami. Seleste bahkan lupa bila ia dan Alfred masih berstatus suami istri. Dia lupa jika perpisahan mereka masih dirahasiakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
OLD MAN : HIS WIFE
RomanceFollow untuk membuka bab-bab yang dikunci melalui web ! Mature (18+) ‼️ Dia yang pernah menjalin asmara selama 9 tahun bersama sang mantan, lantas menikahi wanita yang kini telah menjadi istrinya hanya demi mendapat pengakuan. Cintanya telah habis u...