Chapter 49

13.5K 1.6K 439
                                    

Happy reading 💋

****

One month later ....

Manusia itu kapan saja dapat berubah pikiran. Itu terjadi sebab adanya dorongan keyakinan hati terhadap suatu hal dan dapat mengubah cara pikir mereka.

Seperti Seleste, satu bulan lalu ia berniat untuk menemui dokter dan mengikuti program guna menunda kehamilan. Tetapi, sampai di hari ini Seleste tak kunjung menemui dokter dan melakukan program tersebut.

Menimang-nimang kembali pernikahannya bersama Alfred, menimang-nimang kembali apa sebenarnya tujuan dari pernikahannya, Seleste menemukan jawaban bahwa, dia ingin bahagia.

Dia ingin bahagia bersama Alfred, dia ingin memiliki rumah tangga yang damai, hangat dan penuh akan cinta kasih. Dia ingin pernikahannya seperti pernikahan orang tuanya, dia ingin pernikahannya seperti pernikahan Valdos dan Lily.

Belakangan ini beberapa kali mereka mengunjungi rumah Valdos dan Lily, dada Seleste berdenyut melihat betapa suaminya begitu mencintai Gwenn juga Richardo. Kedua keponakannya-lah yang selalu Alfred cari, Alfred gendong dan selalu bersama-sama dengan mereka bahkan sampai tertidur bersama di ranjang.

Namun, tetap saja. Tetap Alfred tak pernah barang sekalipun mendesak Seleste, memaksa istrinya untuk memberinya anak atau marah sebab sampai kini istrinya tak kunjung mengandung.

Alfred semengerti itu, setidak ingin itu memaksa Seleste sebab dia tahu, Seleste tetap memiliki hak atas tubuhnya sendiri. Tubuhnya tetaplah miliknya seorang.

Gelisah akan sesuatu, Seleste lantas berniat menghubungi Lily. Sebenarnya dia ingin menghubungi sang ibu di rumah, tetapi dia malu. Jika itu Lily, Seleste rasa ia dapat bercerita apa saja dengan bebas.

Sepulang dari kampus, Seleste putuskan untuk tidak ke studio, ke toko atau ke kantornya. Dia langsung pulang ke rumah dan hanya singgah sebentar di apotek.

Usai mandi Seleste lantas pergi ke balkon kamar. Ia duduk di kursi, memegang ponsel kemudian mencari kontak Lily. Dari empat hari lalu ia sudah gelisah akan ini, tetapi ia bingung harus bercerita kepada siapa. Dan ternyata, hanya Lily-lah tujuannya.

"Halo? Seleste?"

Suara lembut Lily menyapa pendengaran Seleste.

"Lily, maaf... maaf jika aku mengganggu waktu santaimu." Seleste sudah canggung di saat ia bahkan belum bercerita apa-apa.

Lily berdecak di telepon. "Sama sekali tidak, Seleste. Ada apa? Kenapa suaramu terdengar lemas?"

Seleste menggigit ujung ibu jarinya sendiri. Dia bingung harus memulai bicara dari mana.

"Lily, bisakah aku bertanya? Ini tentang...." Suara Seleste mengambang di udara. Dia berhenti, malu untuk melanjutkan.

Di sana, di rumahnya, Lily sampai pergi ke teras samping agar dapat mendengar cerita Seleste dengan jelas karena Gwenn sedang bermain bersama pelayan.

"Kenapa? Apa yang terjadi? Apa yang ingin kau tanyakan?"

Panjang Seleste menarik napas. Setelah meyakinkan diri, ia pun mulai bercerita. "Biar kuceritakan dari awal." Perempuan ini berdiri. "Waktu itu aku dan Alfred menginap di rumah Ayah dan Ibuku. Kami lima hari di sana, benar-benar hanya menghabiskan waktu bersama dengan kedua orang tuaku." Seleste sedang mengingat saat-saat itu.

"Itu bisa disebut liburan karena kami sama sekali tak memikirkan pekerjaan. Aku juga hanya fokus membantu Alfred agar lekas pulih dari cederanya. Kuakui saat itu pikiranku sangat tenang, aku tak memikirkan apa pun selain kesembuhan Alfred, dan menikmati waktu liburan kami. Aku senang dapat tinggal bersama orang tuaku selama beberapa hari itu."

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang