Chapter 21

16.5K 1.6K 648
                                    

"Aku tak bisa mempercayaimu, Alfred... aku tidak bisa..."

Semua ini sangat beralasan.

Telah genap lima tahun sudah Seleste menunggu, terus menunggu dan menunggu. Berharap Alfred dapat bercerita jujur padanya, berharap pria itu mengatakan yang sesungguhnya mengenai segalanya; tentang masa lalunya yang menyakitkan, juga tentang niat dibalik pengejarannya.

Kita tak dapat berkata bahwa, oh, perempuan sialan ini sangat penuh drama dan menjengkelkan. Tidak, kita tak bisa mengatakan itu untuk Seleste.

Sebab sejatinya, semua perempuan bahkan juga lelaki, mereka ingin kejujuran untuk melangkah memasuki sebuah komitmen serius. Ini tentang pernikahan, ini tentang hidup bersama hingga menua nanti. Jadi bagaimana bisa mereka memulainya dengan banyak ketertutupan?

Dan apa itu? Menikahi Seleste hanya untuk menjadi hal pembuktian? Sungguh, itu jahat dan tidak benar. Tak ada satu perempuan pun yang ingin dinikahi semata-mata hanya untuk menjadi suatu pembuktian. Tidak ada. Itu tak ubahnya dari sebuah taruhan.

Dunia runtuh di bawah kaki Alfred. Cintanya yang sebesar itu tak dapat Seleste percaya sebab kesalahannya di awal.

"Tolong percaya padaku. Kumohon. Kumohon percaya padaku." Satu tangan Alfred masih di pipi basah Seleste sementara satunya lagi telah merengkuh tubuh halus perempuan itu. Mengimpitkan diri mereka.

Buram Seleste membuka mata, masih tersendat-sendat napasnya seraya ia pandang wajah Alfred di atas. Mata basah mereka bertemu, sayu dan terluka.

"Aku lelah berharap padamu. Aku lelah jatuh cinta sendiri, Alfred. Aku lelah..." Seleste tersengguk dan kembali terpejam menumpahkan bulir beningnya.

Alfred tak pernah tahu, bagaimana selama ini Seleste berjuang untuk hatinya sendiri. Dia tak pernah tahu, bagaimana selama bertahun-tahun ini Seleste memperjuangkan perasaannya. Itu sakit, Seleste sakit mengingat di mana tiga tahun lalu Alfred masih makan malam bersama Florence di sebuah restaurant, dan saat itu Florence mengajak putranya.

Besoknya, pria itu menghubungi Seleste, mengajak Seleste makan di restaurant yang sama, tetapi pria itu batalkan tanpa memberi kabar apa pun. Lalu dua hari berikutnya, Seleste menemukan pria itu bersama wanita lain di restaurant yang sama juga—tempat ia makan bersama Florence dan tempat ia berjanji mengajak Seleste ke sana.

Kembali lagi Alfred menangkup kedua pipi Seleste. Getaran pada tangannya masih terasa dan itu seolah tak dapat berhenti.

"Kau tak pernah menunjukkan perasanmu padaku. Aku laki-laki, Sely. Aku tak pernah bisa memahami sifat wanita. Kau menutupi perasanmu—"

"Karena kau pun tak pernah serius padaku. Kau jadikan aku pilihan terakhir, Alfred. Pilihan terakhir di saat kau mulai kesepian. Pilihan terakhir yang kau datangi di saat kau membutuhkan objek untuk kau goda dan permainkan," potong Seleste sakit.

"Apa kau pernah memikirkan bagaimana perasaanku? Kau selalu datang padaku di saat kau bosan dengan wanita-wanita permainanmu. Juga bukan satu janji, banyak janji yang kau buat padaku namun selalu kau lupakan. Kau tahu? Berkali-kali aku telah berdandan cantik dan menunggumu datang, tapi berkali-kali itu juga kau melupakan janjimu meski itu hanya sebuah makan malam biasa. Dan besok atau lusanya, aku selalu melihatmu bersama wanita lain. Bersama mainanmu yang baru." Air mata Seleste kian luruh secara gencar.

"Bukan hanya itu. Kau dan Florence bahkan masih sering bertemu. Kalian masih sering bertemu walaupun hanya sekadar makan malam atau makan siang bersama. Dan kau tahu? Tuhan selalu menunjukkan itu padaku, aku selalu melihat kalian bertemu, duduk di meja yang sama, saling menghadap serta berbincang ringan. Kau tersenyum cerah padanya, kau tertawa lepas untuknya, kau bercanda lepas dengannya, dan kau bahkan tak sempat melihatku yang kerap duduk di meja dekat kalian."

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang