Chapter 24

19.9K 1.9K 287
                                    

Restaurant outdoor menjadi tempat pilihan Alfred dan Seleste untuk makan malam.

Beberapa kali sudah Seleste disapa oleh pengunjung yang mengenalinya, tetapi semua orang yang menyapa Seleste maupun para pengunjung di sana, mereka semua seolah tak ada di mata Alfred.

Alfred hanya memandang lurus ke wajah istrinya. Matanya seakan tersenyum meski mimiknya datar. Ia hanya satu atau dua kali berkedip namun sama sekali tak memalingkan muka.

"Dari saat pertama kali melihatmu, kuakui kau memang cantik. Tapi aku tak tahu kalau ternyata kau seindah ini."

Mungkin itu terdengar layaknya sebuah bualan omong kosong. Namun, dari hati terdalam Alfred mengatakannya. Dia kurang suka memuji wanita dengan terus terang, dia hanya suka menilai wanita di dalam hati lalu menyimpannya sendiri.

Tapi kepada Seleste, mulutnya tak dapat menahan lagi pujian-pujiannya. Dia ingin terus mengatakannya, berkali-kali, berulang-ulang, setiap hari.

Seleste mendenguskan tawa kecil. "Berhenti menatapku seperti itu. Mulailah makan."

"Kau makanlah. Aku hanya ingin melihatmu."

"Alfred..." Seleste meletakkan garpu dan sendoknya.

"Maafkan aku." Perlahan namun pasti tangan Alfred bergerak, meraih kedua tangan istrinya lalu ia genggam lembut. Mengusap-usap tepat pada punggung tangan Seleste.

"Aku banyak melukaimu." Pria itu tersenyum tipis. "Kasih aku kesempatan untuk benar-benar memperbaikinya."

Sejenak Seleste melihat kepada tangannya yang Alfred genggam, kemudian beralih ke wajah suaminya. "Kenapa tiba-tiba kau berubah begini, um?"

"Aku memang begini. Inilah aku yang sesungguhnya. Aku yang selama ini kusembunyikan darimu."

"Kau tidak begini, Alfred. Kau pria kaku dan tertutup." Seleste mengingat sikap Alfred selama ini, sikap yang membuatnya bingung bahkan bertanya-tanya seorang diri mengenai pria itu.

"Sely." Senyum tampan Alfred terukir. "Itu adalah diriku yang lain, sementara diriku yang ini hanya akan kutunjukkan kepada wanita yang kucintai."

"Aku sayang dan aku mencintaimu. Maafkan aku yang sebelumnya." Entah sudah yang ke berapa puluh kalinya Seleste mendengar ini; ungkapan cinta dan sayang Alfred selama satu hari ini.

Alfred menutup mata, membawa satu tangan Seleste ke bibirnya dan ia kecup lama buku jari Seleste. "Aku minta maaf," katanya dalam pejam.

"Aku ingin kita tetap bersama, Sely. Bersama membenahi segala kerusakan yang terjadi dan membangun kepercayaanmu padaku. Aku ingin kau percaya bahwa aku benar-benar menginginkanmu, menginginkan kita tetap bersama."

Dari jutaan kosa kata, tidak ada satu pun yang dapat Seleste ucapkan. Ia bergeming menatap suaminya teduh, mengamati Alfred yang masih menempelkan bibir ke buku jarinya. Hangat, lembut bibir pria itu.

Jika benar semua ini hanya berupa mimpi, Seleste berharap ia takkan bangun. Ia berharap tak seorang pun membangunkannya. Tolong jangan bangunkan dia.

"Biarkan aku mencoba sekali lagi untuk meyakinkanmu, Nyonya. Izinkan aku memenuhi hatimu. Jangan tinggalkan aku."

Dalam pejamnya, mata Alfred terasa panas sebab sedang ia ingat semua cerita Seleste ketika mereka bertengkar di pantai semalam. Pria itu membayangkan Seleste yang telah berdandan cantik untuknya, namun ia begitu saja melupakan janji temu mereka.

Dia bayangkan Seleste memperhatikannya bersama Florence yang makan bersama, bercanda lepas, dan wanita itu hanya duduk diam menahan perasaan serta mengamati mereka dari meja lain.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang