Chapter 36

16.9K 1.6K 397
                                    

"Telepon aku jika sudah pulang. Nanti kujemput."

"Um."

"Ingat, telepon aku. Jangan naik taksi, apalagi menghubungi Miguel."

Sembari tersenyum Seleste memutar bola matanya. "Iya, Tuan Alfred. Aku akan menghubungimu. Cukup?"

Alfred terkekeh rendah. "Aku mencintaimu."

"Aku mencintaimu," balas Seleste juga. Namun, saat ia akan membuka pintu mobil, Alfred menahan tangannya. Otomatis pergerakkan Seleste terjeda. Dia menatap Alfred di sebelah.

"Apalagi, Sayang?"

"Jangan terlalu akrab dengan teman-teman lelakimu di kampus. Kudengar dari Regina, kau menjadi ketua regu dalam komunitas sosial yang terdapat banyak para bujangan—"

"Alfred..." Seleste menyela halus.

Alfred terkekeh lagi. "Maaf. Aku hanya khawatir kau tergoda oleh pesona muda mereka yang masih segar-segar."

"Kau juga masih segar," kata Seleste. Sebagai pemanis, Seleste berikan satu ciuman ke pipi suaminya. Ia lalu memegang rahang Alfred dan mengusap lembut. "Jangan terlalu banyak berpikir begini dan begitu tentangku. Aku tahu juga aku sadar, aku merupakan seorang istri."

Tangan Seleste yang di pipi Alfred, pria itu raih kemudian ia kecup buku jari istinya singkat. "Terima kasih," ucapnya pelan disertai tatapan hangat.

Tadi buku jari, sekarang bibir Seleste yang Alfred kecup ringan. "Turunlah. Semangat belajar."

"Kau juga. Semangat bekerja." Seleste membalas. Lalu tanpa disangka-sangka, Seleste mencium punggung tangan Alfred hingga suaminya itu tertegun. Alfred terdiam, matanya terus memperhatikan Seleste yang sudah turun dari mobil dan melangkah cepat memasuki gerbang kampus.

Begitu Seleste menghilang dibalik gerbang, Alfred tersenyum-senyum seorang diri. Ia pandangi punggung tangannya dan mencoba mengingat-ingat adegan manis barusan. Itu amat sekilas, tetapi sanggup mengirim getaran hangat ke dada Alfred. Tertegun dalam diam.

Mendadak memori lama Alfred berputar di kepalanya. Pria itu pun teringat akan masa muda ayah dan ibunya dulu; teringat akan Matilda yang selalu mengecup punggung tangan suaminya tiap kali pria tegas nan dominan itu akan pergi bekerja, atau bahkan baru kembali ke rumah. Dulu Alfred sering melihat adegan itu langsung dari ayah dan ibunya.

"Beginikah rasanya menjadi suami yang dihargai?" monolog Alfred. Ia masih tersenyum-senyum, bahkan tersipu, sulit melupakan kejadian sekilas barusan. Itu manis.

****

Sekitar pukul satu siang, Seleste dan Regina pergi mencari tempat makan siang yang enak di luar kampus. Di kampus Seleste memang ada kafetaria, tapi sebagai perempuan yang suka pada menu hidangan segar dan sangat menjaga pola makan, Seleste memang kurang cocok pada menu-menu di kafetaria kampusnya itu.

Akibat Seleste tak membawa mobil dan Regina katakan posisinya tidak begitu jauh dari kampus Seleste, Regina lalu menjemput istri Alfred itu dan mereka kemudian mencari makan siang bersama. Tadi Seleste yang mengemudi.

"Pertebal foundation di lehermu. Mahakarya Alfred masih terlihat."

Celetukkan Regina hampir membuat Seleste terbatuk. Kunyahan Seleste jadi melamban, ragu-ragu ia melirik Regina yang ternyata tengah menopang dagu di meja memakai satu tangannya.

"Aku senang kalian sudah menjadi suami istri sesungguhnya. Terserah kau percaya atau tidak, aku hanya ingin memberitahu kalau Florence sering memikirkan kalian berdua. Lebih tepatnya memikirkanmu. Dia selalu berharap kau dapat menerima Alfred, dia selalu berharap kau tak membenci Alfred karena masa lalunya. Dia ingin kalian saling mencintai tanpa membawa-bawa kisah lalu. Yah, ini pernikahan kalian, tapi selalu dia yang khawatir. Mungkin karena dia pun seorang perempuan, dia jadi paham betul bagaimana perasaanmu," tutur Regina sambil tersenyum.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang