Chapter 16

22.5K 1.8K 354
                                    

Jatuh hati seorang diri, merindu sendiri, pun cemburu sendiri, semua perasaan-perasaan itu terlalu menyiksa Seleste.

Dia hanya seorang perempuan biasa. Dia juga bisa jatuh hati dan bahkan cemburu pada masa lalu pria yang dicintainya. Andai Alfred tahu, jauh sebelum ia mencintai perempuan itu, telah lebih dulu Seleste menaruh hati kepada Alfred.

Alfred pria yang berdaya pikat kuat. Pesonanya memancarkan kesenangan, matanya cantik, garis rahangnya tajam, dan dia terlihat menyimpan banyak tenaga besar. Kakinya panjang dan kuat, tangannya juga besar, tebal dan tampak kasar.

Pria itu selalu rapi, dia wangi sepanjang hari. Gerak-geriknya memancarkan aura panas nan seksi, bahkan suaranya sangat nikmat untuk didengarkan.

Dan melebihi semua itu, dia pria sukses seperti saudaranya—Valdos. Dia mempunyai nama baik, nama yang dihormati, memiliki kekayaan yang diimpikan oleh semua orang, dan dia cerdas. Dua gelar pendidikkan tinggi berbaris di belakang namanya, menunjukkan bila ia pria berpendidikan.

Secara harfiah, pria itu idaman banyak wanita.

Namun, dia luka bagi Seleste.

Seleste terluka akan masa lalunya yang terlampau luar biasa dalam mencintai seorang perempuan. Apalah arti pernikahan, jika Alfred hanya ingin membuktikan pada sang mantan bila ia pun telah bahagia. Seleste ingin dicintai seadanya, setulusnya, dan bukan karena adanya alasan menyakitkan itu.

Cemburu hanya memikirkan masa lalu, cemburu hanya membayangkan apa saja yang telah Alfred lalui bersama sang mantan, selama ini Seleste selalu menahan perasaan itu. Dadanya kerap panas membayangkan betapa hebatnya Florence dulu dicintai oleh Alfred. Sementara dia, Alfred tak pernah sungguh-sungguh padanya, Alfred hanya ingin mencoba-coba.

"Siapa sangka, mengenalmu justru membuat hidupku tak setenang ini. Seleste Ricci yang dulu selalu damai, tak pernah memikirkan perkara perasaan, setelah mengenalmu aku justru terus merasa sakit dan cemburu tak berkesudahan," monolog Seleste.

Di bak mandi ia berendam diri, mencari kenyamanan yang sebenarnya tak pernah lagi ia dapatkan—semenjak Alfred hadir dalam hidupnya.

Sembari memejam, Seleste membayangkan wajah Alfred. Dengusan lemahnya lantas tercipta begitu ia ingat, semalam tadi ia tidur dalam pelukan Alfred.

"Itu nyaman," gumamnya lirih.

"Mungkin seperti itulah yang dulu selalu Florence rasakan saat bersamamu. Pelukan hangatmu, kecupan sayangmu, dan dirimu di dirinya."

Seleste terkekeh sendiri.

"Aku juga ingin dicintai dan disayang sebesar itu. Tapi aku tak bisa berharap itu darimu. Mungkin aku akan mendapatkannya, tetapi dari pria lain. Pria yang tak pernah menghabiskan hidupnya dengan seorang wanita selama itu, selama kau dan Florence, sembilan tahun menjalin kasih."

Perlahan Seleste merosotkan diri. Membenamkan seluruh wajahnya hingga kini tenggelam di dalam bathub. Menyembunyikan matanya yang telah panas, tak ingin menunjukkan kepada seluruh benda mati di dalam situ bila ia ingin menangis lagi; menangisi kisah cintanya yang menyedihkan, hampir lima tahun mencinta dan mendamba seorang diri, cemburu sendiri, berharap Alfred lekas pulih, dan semuanya hanya dapat ia simpan di dalam hati. Menutupi kenyataan.

****

"Bibi, Bibi aku punya ini..."

"Um? Wah... itu keren. Kau dapat dari mana?"

"Ayah membawanya dari luar kota... aku masih punya yang lain kalau Bibi mau..."

Regina memasang senyum. Bermain dengan keponakannya yang berusia empat tahun, putra sulung Florence bersama suaminya.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang