Chapter 11

29.1K 2.2K 413
                                    

Langsung mention bila menemukan typo. Sekalian membantu revisi.

****

Hal paling menyakitkan dari sebuah perpisahan adalah fase mengenang dan mengingat. Alfred telah melalui itu semua selama bertahun-tahun, kemudian di malam ini, fase itu datang lagi. Terasa lebih sakit, bahkan seolah menghancurkan.

Sesampainya ia di rumah, langkah lebar Alfred terjeda di ruang bersantai ketika ia akan naik ke lantai berikutnya. Di bawah remang-remangnya penerangan pria itu melihat ke sana, ke sofa yang biasanya Seleste duduki, sibuk dengan macbooknya, ditemani banyak buku-buku tebal di atas meja, atau berkas-berkas, juga segelas kopi.

Alfred selalu melihat Seleste di situ setiap malamnya selama tiga setengah bulan ini. Istrinya kerap begadang demi menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya atau menangani banyaknya laporan pekerjaan dari para staf, membaca email, berbicara di telepon dengan bergonta-ganti penelepon, dan sesekali mata mereka bertemu tatkala Alfred berlalu-lalang.

Tatapan Alfred semakin mendung bahkan sayu. Begitu ia sampai di lantai atas dan akan masuk ke dalam kamarnya, langkahnya terjeda lagi. Ia memandang ke pintu kamar Seleste di sebelah, melihat ke pintu itu, membayangkan biasanya Seleste selalu berada di dalam sana. Seorang diri, ditemani sunyi, juga hati yang terluka.

Apakah Alfred pernah mengetuk pintu itu untuk menanyakan istrinya sudah tidur atau belum? Tidak, Alfred tidak pernah mengetuknya barang sekalipun. Berniat pun tidak.

"Kau benar, Sely. Kita hanya tinggal bersama, bukan hidup bersama." Dalam hati, pria itu menertawai dirinya sendiri. Menertawai kebodohannya yang terlalu pecundang; takut berkata jujur, takut bercerita lepas, takut memeluk istrinya dan mengatakan bila ia menyayangi perempuan itu. Takut meminta pada Seleste untuk membantunya dan takut segalanya.

"Ternyata benar. Mencintai terlalu hebat pun tidak baik," monolog Alfred.

Satu-satunya kesalahan terbesar Alfred dalam hidupnya adalah, ia pernah mencintai seorang perempuan dengan sangat hebat. Ia pernah jatuh hati pada seseorang perempuan dengan begitu luar biasanya. Ia rela memberikan segalanya dan memang telah ia berikan. Benar-benar ia tunduk di bawah kaki wanita itu, mencintai dan mencintai sampai-sampai rasa cinta untuk dirinya sendiri pun tidak lagi cukup.

Sampai ketika perempuan itu pergi meninggalkannya, memilih lelaki lain, bagai tebing longsor Alfred menerima kehancurannya. Rusak tak bersisa, remuk sehancur-hancurnya hingga serasa ingin mati. Mencoba bangkit berkali-kali namun ia gagal, gagal, dan terus gagal selama bertahun-tahun.

Cintanya yang hampir habis di perempuan tersebut, membuatnya begitu sulit membangkitkan kembali perasaan indah itu—jatuh cinta. Alfred sulit jatuh cinta meski ia telah berusaha, memilih wanita-wanita cantik untuk ia pacari, namun mereka semua berakhir ia tinggalkan. Lari dari kenyataan bahwa kehidupannya harus tetap berlanjut, dan kembali mengenang kisah lalu bersama heningnya malam.

Kemudian ketika ia bertemu Seleste Ricci, mengamati perempuan itu, menilainya, memperhatikannya, Alfred menemukan satu kesenangan yang tidak ia dapatkan dari perempuan lain.

Seleste sulit didekati, sulit digapai, dan sulit diraih. Seleste memberinya perasaan menantang, perasaan menyenangkan meski di awal, Alfred memang tidak begitu sungguh-sungguh. Seleste hanya ingin ia pacari, mencari sedikit kenyamanan dan apabila tak ia dapatkan, akan ia tinggalkan seperti yang lain.

Namun begitulah waktu bekerja. Selama proses mencuri perhatian Seleste, mendekati perempuan itu, menggodanya, perasaan sayang Alfred tumbuh tanpa pria itu sendiri sangka-sangka. Tanpa Alfred harapkan, hatinya yang telah lama membeku itu ditumbuhi oleh percikan rasa sayang dan ia menjerit dalam diam.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang