Chapter 40

22.5K 2.1K 739
                                    

"O. ma. ga. Man, seriously?"

Alfred tak menggubris respon terkejut seorang temannya. Belasan tahun mereka berteman, sedari zaman kuliah hingga di hari ini, baru sekarang ia dibuat terkejut oleh perubahan penampilan Alfred.

Alfred Conor Yordanov itu, ia merupakan pria yang selalu berpenampilan rapi. Kadang kasual namun lebih banyak formal. Sedari masa remaja dulu, Alfred tak pernah aneh-aneh dalam berpenampilan. Memakai jeans pun jarang. Alfred juga lelaki yang tak suka mengenakan aksesori berlebihan, mencukur rambut dengan gaya berlebihan pun tidak.

Tapi di hari ini, Alfred yang baru saja kembali dari luar kota usai menggantikan Valdos dalam mengurus bisnis, dia muncul di hadapan temannya yang seketika dibuat membelalak tak percaya. Temannya seperti, kau bukan Alfred. Alfred tidak seperti ini.

"Ada apa denganmu? Hey, minggu lalu saja kau belum begini. Kau ingin mendaftar militer?"

"Ck," decak Alfred. Ia lirik tajam temannya yang kemudian tertawa.

"Secinta itukah kau pada istrimu?"

"Kau diam, sialan. Cepat antar aku ke rumah Valdos. Sopirku tidak bisa datang," kata Alfred tak mau menggubris.

Hari itu Valdos meminta Alfred menggantikannya selama lima hari, tapi ternyata Alfred menambah empat hari lagi hingga menjadi sembilan hari di luar kota. Dia pergi ketika Seleste sedang marah padanya, pergi setelah meminta izin kepada istrinya meski saat itu Seleste hanya membalas dengan sahutan, "Um. Hati-hati," di telepon.

Karena dimintai tolong oleh teman sendiri, pria berdarah campuran itu kemudian mengantar Alfred ke rumah Valdos.

Lily sudah melahirkan anak keduanya dengan selamat. Bayi laki-laki yang sehat juga gemuk, berambut tebal sedari kandungan, dan saat ini Valdos memang tak bisa meninggalkan istrinya seorang diri. Lily membutuhkan lebih banyak lagi cinta dan perhatian dari suaminya.

"Jadi kenapa ke rumah Valdos? Bukankah istrimu di rumah kalian?" Teman Alfred yang mengemudi. Sesekali dia masih melirik Alfred, rasanya aneh melihat Alfred seperti saat ini. Cara berpakaian Alfred memang masih sama. Akan tetapi, ada sesuatu yang berbeda dari pria itu.

Alfred terlihat seperti seorang prajurit tentara perang. Entah bagaimana reaksi Seleste saat melihat suaminya nanti, batin teman Alfred.

"Istriku masih marah. Dari pagi dia bahkan belum membalas pesanku." Alfred bercerita. Dia ingin merokok, namun takut akan bertemu Seleste, akhirnya dia masukkan kembali rokoknya ke dalam saku celana. Seleste sudah melarangnya merokok, sayangnya Alfred akan tetap kembali menyulut benda itu ketika ia sedang pusing.

Seleste melarang karena ia tahu, nafsu makan suaminya akan menurun jika ia kuat merokok.

"Bertengkar terus kalian ini. Apa gunanya menikah jika tidak ada ketenangan," kata teman Alfred.

"Bukan dia. Akulah yang selalu membuatnya marah. Biang kekacauan di rumah tangga kami adalah diriku sendiri. Istriku itu bukan perempuan yang banyak menuntut. Sebagai suami, kurasa akulah yang kurang baik untuknya," urai Alfred. Yang tadinya dia tahan agar tidak merokok lagi karena sudah berada di lingkup dekat dengan Seleste, akhirnya ia membakar satu batang lalu menyesapnya.

"Kurang baik dari segi apa? Kau satu dari sekian banyak lelaki yang kulihat memiliki rasa tanggungjawab. Kau memang pria pemilih, tapi itulah yang membuatmu tak menjadi pria berkelamin murahan."

Alfred menyulut rokoknya santai. Bersandar kepala dengan posisi duduk kaki mengangkang. Dia lelah, rindu ingin memeluk istrinya.

"Putar balik. Antar saja aku ke rumah," celetuk Alfred enteng.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang