Chapter 42

13.6K 1.6K 328
                                    

Dari lima menit lalu tatapan Seleste dan Lily tak berpindah dari Alfred. Bersama-sama mereka terus amati pria itu yang dengan setia, penuh kasih sayang juga cinta di matanya dalam memandangi putra Valdos dan Lily yang baru saja lahir.

Alfred duduk di tepi ranjang, senyumnya selalu tercipta selama memandangi bayi mungil itu yang telah diberi nama Richardo Dave Yordanov oleh kedua orang tuanya pada tiga hari lalu.

Pancaran mata Alfred menjelaskan segalanya. Menjelaskan apabila ia pun mendambakan seorang anak, ia ingin memiliki setidaknya satu orang anak, ia ingin melihat bentuk nyata dari darah dagingnya sendiri, dan itu tersampaikan kepada Seleste serta Lily yang duduk bersama di sofa. Mereka yang awalnya mengobrol santai, kompak terdiam karena memperhatikan Alfred di sana.

"Paman..."

Suara riang Gwenn menyadarkan Alfred. Segera ia mengangkat Gwenn, memangku Gwenn di paha lalu kompak mereka memandang si bayi. Tertidur pulas bagai boneka, kecil juga rapuh.

"Adikku tampan sekali, Paman. Saat dia membuka mata, matanya abu-abu seperti mata Mommy." Dengan ceria, penuh semangat Gwenn bercerita sembari memegang kedua rahang pamannya.

Senyum Alfred lantas kian merekah, ia mengangguk kemudian mencium pipi Gwenn. "Kau senang punya Adik?"

"Tentu saja. Aku sudah lama menunggu Adikku keluar dari perut Mommy. Karena sekarang dia sudah keluar, aku tinggal menunggunya besar..." Gwenn membuka tangannya lebar-lebar saat mengatakan besar barusan.

"Kalau sudah besar nanti, kalian ajak teman-teman kalian main ke rumah Paman, ya. Nanti Paman buatkan kalian tempat bermain di rumah," kata Alfred. Meski sangat ingin, ia mencoba menerima kenyataan bahwa, istrinya mungkin akan memilih untuk tak memiliki anak.

Seleste segalanya bagi Alfred. Ia tak sanggup kehilangan wanita itu hanya karena egois memaksa istrinya memberinya anak. Alfred tak ingin kehilangan Seleste hanya perkara ia menuntut keturunan kepada istrinya yang tidak siap untuk itu. Perjalanan pernikahan mereka tidaklah mudah untuk sampai di titik ini, banyak hal yang sudah mereka lalui bahkan jauh dari sebelum mereka bersama.

Rasa sakit dan air mata sudah selalu Alfred berikan pada Seleste. Ia tak ingin menambah rasa bersalah dengan memaksa Seleste. Ia tak ingin Seleste mengambil keputusan yang amat ia takuti selama ini hanya karena dirinya memaksa agar Seleste memberinya anak. Perceraian. Ia takut Seleste menjadi mudah lagi untuk meminta hal itu.

Melihat suaminya bersama kedua keponakannya di sana, bahu Seleste melemas dengan perasaan mendung melanda seketika.

"Apakah keputusanku ini salah?" Seleste bertanya kepada Lily.

Diam sejenak Lily kemudian membalas, "Jika Alfred menyetujuinya, kurasa itu bukan lagi masalah."

Lily hanya tak mau menyakiti perasaan Seleste. Kendati di dalam hati ia ingin berkata, "Hadiahkanlah setidaknya satu anak untuk pernikahan kalian." Akan tetapi, ia memilih menutup rapat-rapat tentang itu dan mencoba mendukung sahabat sekaligus sesama iparnya tersebut.

Sayu kedua mata Seleste menatap suaminya. Ada perasaan sayang, cinta dan kasihan kepada pria itu. Dua hal yang Seleste sadari, suaminya memang telah berumur dan sangat pantas untuk memiliki keturunan. Itu bahkan terbilang terlambat sebab di zaman sekarang, banyak lelaki menjadi seorang ayah di usia mereka nan terbilang amat muda.

"Aku hanya ingin menunda setidaknya dua tahun. Tapi, aku khawatir dia mencari keturunan dari wanita lain," kata Seleste. Mengungkapkan kekhawatirannya. Bagaimanapun, ia pun memiliki kekhawatirannya sendiri.

"Kau bisa membahas itu dengannya. Aku yakin Alfred bisa memahami keputusanmu. Apa pun itu, bicarakanlah dengan suamimu. Itulah fungsi seorang pasangan hidup." Lily membuat senyum hangat. Ia usap-usap bahu Seleste di mana Lily tahu, Seleste tengah bimbang.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang