Chapter 23

22.4K 2.1K 599
                                    

Dari tadi, benar-benar sedari pantai tadi Regina terus menggoda sembari menertawai Seleste. Dia tertawai temannya yang sudah begitu yakin untuk berpisah, tetapi ujung-ujungnya perpisahan itu hanya seperti sebuah rencana omong kosong.

Terus terang, Regina merasa lucu.

"Oh, ayolah... aku yakin semalam kalian pasti hampir bercinta setelah pertengkaran itu. Jika tidak, mana mungkin Alfred bangun tanpa atasan begitu." Regina tertawa. Ia lirik suami Seleste di samping mobil mereka, mengemudi juga dengan santai.

Mereka telah kembali dari pantai menuju titik tengah kota.

Seleste terkekeh. "Aku belum bisa memberi diriku untuknya. Aku takut dan aku belum percaya penuh padanya. Manusia itu sulit untuk dipercaya, Regina. Bahkan orang terdekat sekalipun."

Regina setuju. Tapi, saat ini ia bukan ingin membahas itu. Ia penasaran apa yang terjadi di tenda semalam.

"Biar kutebak. Pasti dia meminta tapi kau menolak," tebak Regina sangat akurat.

Seleste menahan senyum. "Dia sampai menangis dan berkeringat panas. Kurasa dia tersiksa."

Kejujuran Seleste membuat sang teman tertawa lagi.

"Kuakui pertahanan dirimu, Seleste. Andai itu aku, mungkin aku pun telah lepas kendali. Alfred sangat— he's so fine."

Ponsel Seleste berdering. Alfred meneleponnya padahal mobil mereka melaju seiring, mobil Alfred bahkan berposisi tepat di sebelah mobil Seleste.

"Aku akan singgah di klinik temanku untuk menjahit luka kecil sialan ini."

Ke mobil Alfred di samping Seleste menoleh. Bertemu tatap mereka namun lebih dulu Seleste membuang muka kembali melihat ke depan.

"Minum juga obat pereda nyeri," pesan Seleste.

"Terima kasih, Nyonya. Kutunggu kau datang membawakan obatnya ke rumah nanti malam."

Regina tertawa mendengar suara Alfred di telepon. Laki-laki memang sialan, tahu sekali cara menjebak agar bisa bertemu dan berduaan.

"Minta saja langsung di temanmu yang Dokter itu. Aku benar-benar sibuk, sungguh. Aku masih harus memilah-milih hasil gambar dan video para model," jelas Seleste. Bibirnya menahan senyum, ia tahu Alfred sedang memandangnya dari samping.

"Boleh aku bergabung dan ikut memilah-milih?"

Tawa rendah Seleste terlepas. Alfred ini banyak sekali maunya.

"Um. Datang tapi jangan kau buat kekacauan lagi di studioku."

"Aku tak bisa berjanji jika Miguel tiba-tiba muncul. Aku belum puas memukulnya."

"Alfred."

"Iya, Nyonya. Maaf."

Manis. Satu kata yang terlintas di kepala Seleste. Apa Alfred memang seperti ini? Seperti puppy, lucu gemas dan penurut.

"Setelah ini aku akan ke kampus."

"Boleh aku menjemputmu saat pulang nanti?"

"Aku membawa mobil, Alfred. Aku bisa pulang sendiri." Seleste dan Regina tersenyum. Alfred benar-benar banyak maunya.

"Bagaimana dengan makan siang bersama, apa boleh?"

Siapa yang tahan? Seleste tak bisa menahan kepalanya untuk tak menoleh. Dia tengok kini Alfred di mobilnya, menempelkan ponsel di telinga serta memegang setir kemudi dengan satu tangan. Bibir Alfred membentuk garis senyum hangat dan tampan kepada Seleste.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang