Chapter 27

21.5K 2.2K 647
                                    

23.45

Hampir pukul dua belas malam. Alih-alih merebahkan diri di ranjang dan beristirahat, Seleste justru melakukan zoom meeting bersama dua orang kepala tim kreatifnya beserta seorang staf.

Di balkon kamar wanita itu duduk. Di hadapan layar macbook ia berbicara antusias setelah memberi lapisan make up pada wajahnya nan pucat, menutupi kantung mata yang bengkak, bahkan sampai menggunakan lensa mata agar matanya dapat terbuka tegas—sebab bengkak itu membuat matanya menyipit.

Di sebelah macbooknya terdapat dua gelas kopi susu. Satunya sudah kosong dan yang satunya tersisa setengah.

Terdengar perempuan itu sesekali terkekeh juga tertawa. Tawa yang ringan dan kering seolah ia begitu baik-baik saja, seolah hari ini tak pernah terjadi apa pun hingga ia mampu berinteraksi selepas itu bersama orang-orang di layar macbooknya. Terlihat segar juga tetap memancarkan aura yang positif.

Dan 15 meter di belakang Seleste, di dalam kamar, di sinilah Alfred berdiri menyelipkan dua tangan ke saku celana. Dari tadi Alfred di sini, memandang kepada istrinya di balkon, menahan sengatan pilu pun kesedihan pada ulu hatinya. Nyeri, dingin di dalam dada.

Bulu mata tebal Alfred memayungi sorot teduh pria itu yang tertuju kepada istrinya. Bertanya di dalam hati, terbuat dari apa perasaan wanita itu? Bagaimana bisa ia sekokoh itu mengendalikan suasana hatinya, bagaimana bisa ia berbicara penuh antusias serta semangat menggebu-gebu padahal hari ini, Alfred membuatnya sangat terluka dan menangis layaknya orang depresi?

Semua orang memang harus profesional, tetapi jika menyangkut urusan hati, rasa-rasanya hanya segelintir orang yang mampu memasang tampang teguh.

"Baik. Sampai jumpa besok. Selamat malam, tim."

Alfred dengar Seleste menyudahi zoom meetingnya. Wanita itu kemudian menutup macbook lalu membuka ponsel, meminum kopi susunya yang tersisa setengah gelas dan dari posisinya berdiri, Alfred tangkap tangan Seleste gemetar kecil saat akan mengangkat gelas kopi dari meja.

Istrinya belum menyentuh makanan apa pun. Banyak menangis kemudian malam ini ia meminum sampai dua gelas kopi susu pekat.

Memberanikan diri, Alfred bergontai menghampiri Seleste. Dua meter di belakang Seleste kini ia berdiri.

"Istirahatlah. Suhunya semakin dingin," lontar Alfred lembut. Ada perhatian dalam kalimatnya.

Ke samping Seleste menengok, menunjukkan sisi wajah serta pangkal hidung nan tinggi. Tipis, samar-samar ia memasang senyum.

"Kau bisa duluan. Aku masih akan duduk di sini," katanya.

"Aku hanya akan naik ke ranjang apabila kau sudah tidur," balas Alfred. Sinar bulan memapar wajah serta manik gelap dan kulit tan maskulinnya.

"Tidak perlu seperti itu. Ini rumahmu, ini kamarmu, kompleks mewah seluas mata memandang ini adalah milikmu. Aku hanya kebetulan kau nikahi hingga aku dapat ikut merasakan kemewahan di sini." Ramah Seleste berucap.

"Tanganmu gemetar. Kau maag." Alfred tak mau menggubris pernyataan Seleste tadi. Baginya, sedari hari di mana ia nikahi wanita itu, seluruh miliknya adalah milik Seleste. Semua kemewahan yang ia miliki telah menjadi hak penuh Seleste sebagai istrinya, wanita yang telah ia ikat resmi di atas altar gereja.

"Oh? Jadi ini maag? Kupikir hanya karena aku lapar dan belum makan." Seleste melihat tangannya sendiri. Dari tadi tangannya memang bergetar kecil.

"Para pelayan sudah tidur. Aku bisa membuatkanmu makanan jika mau." Setulus hati Alfred memberi tawaran. Ia khawatir istrinya benar-benar jatuh sakit.

"Terima kasih, tapi tidak perlu." Sikap ramah Seleste mengirim rasa hampa ke dada Alfred.

Tak henti-hentinya pria itu memandang punggung istrinya. Mereka seakan kembali ke waktu lalu, ketika hubungan mereka belum membaik dan masih saling menyembunyikan perasaan satu sama lain. Ini jarak yang Alfred benci. Mereka dekat, tetapi rasanya begitu jauh.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang