Chapter 47

13.4K 1.3K 447
                                    

Pukul sebelas Florence beserta putrinya kembali dari bandara usai mengantar keberangkatan sang suami.

Karena pagi tadi putrinya tak mau sarapan, alhasil bocah itu mengatakan lapar di pertengahan jalan ketika mereka akan pulang ke rumah.

Florence dan putrinya lantas singgah di restaurant. Seperti dua orang teman mereka makan sambil mengobrol antusias, tertawa juga berfoto bersama untuk dikirimkan kepada ayah, kata bocah perempuan itu.

Di tengah-tengah kesenangan ibu dan anak itu, dua orang pria lantas muncul kemudian menempati meja yang tepat di sebelah mereka. Hanya berjarak dua meter jauhnya.

Tidak butuh waktu lama untuk Florence menyadari apabila salah satu dari kedua pria di meja sebelah itu adalah Alfred, mantan kekasihnya.

"Paman Alfred?" Bukan Florence, melainkan putri Florence-lah yang menegur pria itu.

Alfred menoleh, menjeda perbincangannya bersama sang manajer.

"Cindy? Hey." Senyum Alfred merekah. Tatapnya kemudian berpindah kepada Florence. "Selamat siang, Mrs. Levin," sapa Alfred. Tak ada kecanggungan dalam suaranya, sebab untuk apa? Komunikasinya bersama Florence tetap baik meski lama sudah mereka berpisah.

Florence ikut tersenyum. "Selamat siang, Mr. Yordanov," balas Florence juga.

"Paman tidak mau bergabung dengan kami?" Putri Florence menawarkan. Suaranya yang ringan dan gemas membuat senyum Alfred kembali mengembang.

"Terima kasih, Cindy." Sejenak Alfred bercakap-cakap dengan manajernya, menyuruh sang manajer memesan menu apa saja yang diinginkan.

Alfred lantas berpindah ke meja Florence dan Cindy. Di sebelah Cindy kini pria itu duduk.

"Wah... menu apa ini yang kau pesan? Sepertinya enak." Alfred merangkul bahu kecil Cindy. Sudah akrab.

"Tadi pagi dia tidak mau sarapan. Sekarang baru dia bilang lapar," lontar Florence. Tetap tersenyum sambil ia perhatikan putrinya yang makan dengan lahap.

"Tidak apa. Dia juga mau makan di luar." Alfred terkekeh. Bahu kecil Cindy kemudian dia usap-usap gemas.

"Kalian hanya berdua? Di mana Mr. Levin?" tanya Alfred. Ia memandang Florence.

"Nah, kami ini baru saja pulang dari bandara untuk mengantar Ayahnya. Karena dia bilang lapar, makanya kuajak dia singgah makan di sini." Florence menjelaskan.

Alfred manggut-manggut, sama sekali tak merasa canggung atau apa pun itu. Florence dulu adalah kekasihnya, tetapi sekarang, perempuan itu adalah temannya. Tidak semua hubungan harus berakhir saling membenci. Lagi pula mereka merupakan dua orang dewasa, bukan remaja yang akan selalu membenci sang mantan setelah berpisah.

"Ngomong-ngomong, kemarin sore aku melihat dia di Mall. Bersama Ibunya juga," celetuk Florence. Ia tatap lurus wajah Alfred.

"Dia?" Kening Alfred berkerut, namun sedetik kemudian dia tersenyum. "Sely," gumamnya. Langsung tahu siapa yang Florence maksudkan.

"Sudah tiga minggu aku tidak melihatnya di mana-mana. Dia juga tak pernah mau lagi kuajak bertemu. Memang bagusnya dia itu dipaksa," tutur Alfred. Saat ini, mendadak wajah Seleste seolah tergambar di matanya. Ia berucap namun matanya fokus ke tengah meja, membayangkan gadisnya.

Gadisnya yang ketus, cuek dan sombong.

"Kau pasti merindukannya," tebak Florence dengan mata menyipit. Menggoda sang mantan yang kemudian tersenyum-senyum sendiri.

Alfred duduk merosot serta melebarkan kedua kaki. Ia bersedekap, masih menatap ke tengah meja. "Bagaimana tidak rindu? Sikapnya yang ketus dan acuh tak acuh itu sangat menantang bagiku."

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang