Chapter 22

23.9K 2.1K 531
                                    

Siapa pun akan panik apabila melihat orang yang mereka kasihi pingsan, siapa pun, tetapi itu tak berlaku bagi Alfred.

Di dalam tenda Alfred menidurkan Seleste. Dia nyalakan senter ponsel untuk menerangi diri mereka dan agar dapat melihat wajah tenang istrinya.

Tepat di samping Seleste pria itu ikut merebah. Ia topang kepalanya memakai satu tangan, berbalik ke arah Seleste dan ia amati wanitanya lekat-lekat namun sendu.

Tangan dingin Seleste terus ia genggam, ia tempelkan ke bibirnya yang hangat. Terus ia kecup dari tadi, sama sekali tak ingin dilepaskannya.

Maafkan aku. Berkali-kali, berulang-ulang Alfred mengatakan itu dalam hatinya. Semakin lama ia pandangi wajah Seleste, ia semakin mabuk seorang diri. Hatinya memuji dan sorot matanya memuja Seleste. Mendambakan wanita itu dalam benak serta bayang-bayangnya.

Setengah jam lamanya Seleste tidak sadarkan diri. Namun, begitu jemari besar Alfred menyentuh kepalanya, membelai surai Seleste lembut penuh sayang, perempuan itu lantas tersengguk satu kali masih membawa perasaan sedihnya.

"Alfred..."

Lirih Seleste bergumam samar-samar, terpejam namun bibir kecilnya jatuh melengkung.

Alfred bergegas duduk. Ia menunduk dan memegang pipi Seleste, berkeliaran mata sayunya di wajah wanita itu. Ia usap-usap pipi Seleste memakai ibu jari, tak ingin memaksa Seleste lekas bangun karena itu akan membuat kepala Seleste semakin pening—jika dipaksakan sadar.

"Alfred..." Satu kali lagi Seleste memanggil dengan gumaman lirih.

"Aku di sini." Berat bisikan Alfred menyahut di depan bibir Seleste. Embusan napas mereka pun saling bertabrakan saking dekatnya bibir mereka.

Kecil juga pelan-pelan Seleste membuka mata, masih buram pandangannya namun ia tahu bila wajah tegas di atasnya saat ini murapakan wajah Alfred. Ia tahu jari hangat di pipinya saat ini ialah milik Alfred juga.

Masih terbawa suasana pertengkaran, alhasil wanita itu menangis lagi meski tipis. Dipandang wajah merahnya oleh Alfred yang tak berkedip, jatuh ke samping air matanya dan Alfred menyeka lembut.

"Kau membenciku, um?" tanya Alfred pelan.

Seleste mulai sadar secara penuh. Ia juga sadar saat dirinya mengangguk, menjawab pertanyaan Alfred hingga suaminya terdiam menatapnya dua tingkat lebih sayu.

"Cintai aku lagi, Sayang. Cintai aku lagi." Alfred meminta dengan serak, jatuh keningnya ke kening Seleste, bersentuhan hidung mereka.

Tak ada respon apa pun. Seleste diam dan kembali memejam, kini tangannya memegang dada telanjang Alfred lantas ia dorong, ia tahan agar tubuh mereka tak sampai bersentuhan. Rasa takut itu masih ada, terlebih saat Seleste mengingat ketika tadi Alfred mengajaknya telanjang bersama guna memperjelas perasaan wanita itu sendiri.

Bukan lagi duduk, sekarang Alfred berpindah ke atas Seleste lantas ia penjarakan tubuh istrinya. Ia tindih rasa-rasa, tidak benar-benar membuat diri mereka bersentuhan intens tapi itu sudah mampu membuat Seleste menegang kalut dalam kesedihan. Nyata kini Alfred berada di atasnya, menindihnya, bahkan menyentuhkan kening mereka. Dan melebihi semua itu, adalah kini Alfred bertelanjang dada juga ia yang hanya memakai tanktop.

"Alfred—."

Ciuman itu Alfred berikan lagi, ia daratkan lagi bibirnya ke bibir Seleste. Memutus kalimat Seleste yang belum tuntas.

Banyak-banyak Seleste mengumpulkan tenaganya. Dengan dua tangan dia dorong kuat perut Alfred namun lelaki itu tak bergerak sama sekali, bahkan, kedua pergelangan Seleste kini Alfred genggam—hanya menggunakan satu tangan saja—dan ia tempelkan ke dadanya, membiarkan Seleste dapat merasakan detak jantungya di situ. Jantung yang saat ini berdenyut kencang untuknya, berdebar untuk perempuan itu.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang