Chapter 25

22.5K 2.2K 578
                                    

Ternyata tidur bersama tidaklah seburuk itu.

Tiga hari berlalu, selama tiga malam itu juga Alfred dan Seleste telah tidur bersama.

Alfred mengerti Seleste canggung dan bahkan takut. Setiap malamnya, ia hanya akan ikut merebah di kasur apabila istrinya sudah terlelap. Ukuran ranjang yang besar menyelamatkan mereka, sebab jika tidak, mungkin setiap malam mereka akan berakhir saling memeluk satu sama lain—mengingat cara tidur keduanya yang suka berbolak-balik.

"Untuk apa ini?" Kening Alfred berkerut. Ia perhatikan penjaga kebunnya mencampur-campurkan tanah dengan pupuk.

"Nyonya ingin menanam beberapa jenis bunga. Dia menyuruhku untuk mencampurkan lebih dulu tanah dengan pupuk-pupuk ini," jelas si penjaga kebun. Meski berkeringat, ia tetap semangat karena ini permintaan sang nyonya.

Alfred manggut-manggut. Tidak lama lagi seluruh halaman rumah mereka akan menjadi taman bunga. Seleste sangat menyukai bunga, segala jenis bunga akan ia tanam bahkan sampai kaktus-kaktus pun sudah ia tanam di halaman samping.

Ini hari minggu siang. Baru saja dua jam lalu suami istri itu pulang beribadah.

"Bukankah ini sudah waktunya makan siang? Tinggalkan saja dulu pekerjaanmu lalu pergilah makan," pinta Alfred. Tak pernah ia membeda-bedakan manusia dari status pekerjaannya. Penjaga kebun pun seorang manusia.

"Tuan duluan saja. Aku masih ingin menyelesaikan ini untuk Nyonya."

Begitulah kelebihan Seleste. Ia sanggup membuat semua orang sayang padanya. Seluruh pekerja di rumah ini pun sepertinya lebih sayang kepada nyonya dari pada tuan mereka, batin Alfred terkekeh.

Karena ia dan Seleste juga belum makan siang, Alfred lalu pergi mencari Seleste untuk mengajak sang istri makan bersama.

"Di mana Nyonya kalian?" tanya Alfred kepada pelayan.

"Sepertinya di kamar, Tuan. Tadi kami lihat Nyonya naik ke lantai dua," sahut si pelayan. Dia mengepel namun hanya di teras saja. Seluruh bagian dalam akan ia bersihkan kalau Seleste sudah tidur malam atau besoknya saja. Intinya jangan ada nyonya di rumah, seperti pesan Alfred dulu.

"Sely?" Alfred membuka pintu kamar. "Kau sedang apa?"

Di sana, di sudut jauh kamar mereka, Seleste berjongkok namun ia tampak buru-buru mengisi sesuatu ke dalam koper pakaian Alfred.

"Sely?" Sekali lagi Alfred memanggil. Ia hampiri istrinya.

Seleste berdiri cepat, berputar badan lantas memasang senyum. "Ya?" sahut wanita itu akhirnya. Muka Seleste merah.

"Kau sedang apa?" Secara lembut Alfred bertanya.

"Tidak. Aku hanya sedang... um... merapikan koper-kopermu lalu akan kusuruh pelayan angkat ke ruang sebelah agar kamar kita lebih rapi," jelas Seleste. Senyumnya kaku.

"Ah, ya. Benar, ini waktunya makan siang." Kemudian Seleste berlalu, melewati suaminya begitu saja dan keluar dari kamar mereka.

Otomatis tubuh Alfred ikut berputar. Matanya mengikuti punggung Seleste dan tetap melihat ke depan padahal pintu kamar sudah ditutup kembali.

Penasaran apa yang Seleste isi ke dalam kopernya sampai terburu-buru begitu, Alfred lantas menuju ke tempat tadi ia melihat Seleste berjongkok.

Pria itu membuka koper yang tadi ia lihat Seleste pegang. Koper besar pakaiannya yang berwarna silver.

Begitu koper itu telah dibuka, punggung Alfred sontak merosot lemas, matanya juga otomatis menjadi teduh seketika. Alfred tertunduk lemah, memandang kepada banyaknya foto-foto lamanya dan Florence. Foto-foto saat ia dan Florence masih berpacaran dulu, banyak, benar-benar banyak. Hampir setiap momen mereka abadikan dalam bentuk foto, benar-benar hampir setiap momen.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang