Chapter 9

26.6K 2.2K 631
                                    

Mention kalau typo.
Happy reading.

****

Seleste berdecih. Dengusan sinisnya terlepas mendengar pengakuan tak berarti Alfred. Rasa laparnya hilang dan burger lezat di tangannya lantas Seleste letakkan kembali ke dalam box.

"Pengakuan tiba-tiba?"

Di sana, di luar studio, Alfred berdiri memandang gerbang studio Seleste yang digembok dari dalam. Gerbang sialan itu bisa saja ia lompati, sayangnya bertindak bak penyusup sangatlah tidak pantas untuknya.

Dengan lengan kemeja yang dilinting sampai pada siku, Alfred bersandar di jok namun pintu mobilnya terbuka. Satu kakinya di atas dan satunya lagi di aspal. Ia memejam mendengar balasan sinis Seleste barusan.

"Aku berusaha menyayangimu sepenuh hatiku. Biarkan aku mencoba, Sely. Aku ingin merasakan kembali kehidupan setelah sekian lama rasanya aku berjalan tanpa kehidupan di sisiku." Suara Alfred terdengar berat.

"Keluarlah dan kita bicara. Semua pertanyaanmu akan kuberitahu malam ini." Pria itu menambahkan, tersirat keputusasaan dalam tutur katanya.

"Kau salah jika mengira aku tak tahu mengenai semua alasanmu. Marahku, ketusku, tak peduliku, semua itu sebab aku hanya menginginkan kejujuranmu. Tapi apa? Kau tak pernah peka sampai di situ. Aku tidak sebodoh itu, Alfred. Aku tahu kau hanya ingin melanjutkan hidup denganku. Aku tahu cintamu telah habis untuk masa lalumu."

Ada jeda. Hanya keheningan yang terdengar di telepon.

"Keluar, kutunggu." Alfred memutus panggilan sepihak. Dadanya bergetar diterjang rasa tak nyaman, dadanya nyeri mendengar suara Seleste nan gemetar tanda pilu.

Rasa dingin merayap sampai ke punggung Alfred, menembus kulit, dan bersarang di tulang-tulangnya. Sekali lagi, Alfred melihat kehancuran di depan matanya. Kehancuran hubungannya dengan Seleste yang baru saja dimulai. Kehancuran hati wanita tak bersalah hanya karena dirinya yang belum mampu sepenuh hati meninggalkan ruang masa lalu.

Alfred tahu, ia tahu Seleste tak sebodoh itu. Alfred tahu Seleste pasti telah mendengar segalanya dari seseorang, mengetahui semua fakta-fakta tentangnya, tentang masa lalunya, tentang alasan di balik pernikahan mereka, dan wanita itu kecewa.

Lima menit Alfred menunggu, Seleste kemudian muncul dari balik gerbang. Istrinya datang, keluar untuk menemuinya dengan wajah tanpa ekspresi.

Mata bertemu mata, tatap Alfred sendu mendapati Seleste yang ia yakin, istrinya menahan perasaan sedih. Tentu, itu pasti. Sebab Alfred mempermainkannya. Mempermainkan keyakinan Seleste, perasaannya, juga pernikahan mereka yang sebenarnya begitu sakral.

Turun dari mobil, Alfred serta merta melangkah untuk saling menghampiri bersama Seleste. Langkah Seleste pelan, berbeda dengan langkah Alfred yang lebar.

"Ceraikan aku dan carilah sosok Florence di wanita lain."

Kalimat itu terlepas penuh akan ketegasan serta keyakinan yang matang. Terjeda langkah mereka di jarak tiga meter, saling menatap dan saling berhadapan lurus.

Mata Alfred yang biasanya tersenyum untuk Seleste, malam ini terluka untuk wanita itu. Hatinya menjerit, berharap siapa saja dapat menjelaskan kepada Seleste bila ia sayang kepadanya, kepada istrinya yang sudah ia nikahi meski benar adanya, Alfred mencari sosok lain dalam diri Seleste.

Alfred tak terkejut jika Seleste mengetahui segalanya. Ia tahu malam itu Seleste telah berbincang dengan Regina, adik perempuan Florence mantan kekasihnya. Alfred bahkan melihat Regina keluar dari studio Seleste malam di mana Alfred mencoba keberuntungannya—untuk melamar Seleste.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang