Bagian 41

115 18 1
                                    

Karma membungkus tubuhnya semakin erat dengan selimut. Kegelapan yang menyelimuti di sekelilingnya terasa asing namun familiar dengan cara yang Karma tak ingin kenali. Dia berada di sudut kamarnya, terbungkus selimut dengan pintu dan jendela yang tertutup rapat. Malam telah tiba beberapa jam yang lalu. Karma tak tahu sudah berapa lama sejak mentari terbenam, tetapi dia yakin waktu masih menunjukkan pukul dini hari.

Keheningan baik di dalam kamar maupun di dalam kepala Karma terasa mengerikan. Padahal biasanya Karma akan terjaga karena isi kepalanya yang begitu ribut memikirkan banyak hal. Tetapi kali ini kepalanya terasa sunyi. Seolah-olah tak ada satupun suara yang bisa menembus telinganya. Seolah-olah semua telah meninggalkannya. Bahkan pemikiran di dalam kepalanya sudah enggan membuat keributan.

Tangan Karma bergetar saat dia mencengkram selimut yang membungkus tubuhnya. Ada apa dengannya? Mengapa dia bertingkah seperti binatang yang terluka? Mengapa dia meringkuk di sudut kamarnya seperti orang yang menyedihkan?

Karma meraih ponsel yang dia letakkan di dekatnya. Saat benda itu menyala, cahaya dari layar ponsel menyakiti mata Karma yang mulai terbiasa dalam kegelapan. Dia hampir melempar ponsel itu ke sudut ruangan seperti benda tersebut adalah hal yang sangat menakutkan. Saat ponselnya berdering, Karma tak bisa menahan diri untuk tidak bergidik. Dia mengintip siapa gerangan yang memanggilnya pada dini hari seperti ini.

Nama Asano Gakushuu tertera di layar ponsel. Tanpa sadar Karma tertawa. Mengapa selalu Gakushuu yang muncul? Mengapa selalu dia yang datang ketika Karma berada di titik rendahnya?

Tentu saja Karma tak menjawab panggilan telepon dari Gakushuu. Bahkan saat remaja tersebut terus meneleponnya, tak satupun panggilan itu dijawab. Lagipula mengapa dia harus melakukannya?

Karma hanya diam menatap ponselnya yang telah kehabisan daya. Dia bahkan tak sadar pagi telah tiba menggantikan malam. Cahaya matahari menembus tirai tebal yang menghiasi jendela kamarnya. Suara kebisingan aktivitas di pagi hari mulai terdengar. Tetapi tak ada satupun dari semua itu yang berhasil membawa Karma keluar dari pelukan selimutnya. Dia terus meringkuk di sudut kamarnya dengan selimut yang memeluknya erat sembari menatap ponselnya yang telah lama mati.

Apa yang dia pikirkan saat itu? Dia pernah sekarat. Berkali-kali malahan. Mengapa dia malah berjuang dan bukannya menyerah? Menyerah terdengar jauh lebih mudah bukan? Dia tak perlu merasakan sakit, tak perlu merasa menderita karena membuat orang tuanya sedih, tak perlu merasa dikucilkan karena penyakitnya, dan tak perlu jatuh dalam depresi tidak normal akibat penyakitnya yang tak kunjung membaik.

Pada titik ini, Karma mengagumi dirinya yang masih mampu mempertahankan kewarasannya.

"Akabane!"

Karma tersentak. Menatap sekeliling kamarnya dengan ketakutan. Di dalam ruangan hanya ada dirinya seorang.

"Akabane! Buka pitunya!"

Karma semakin merapatkan selimutnya. Kepalanya kembali mempermainkannya. Bukankah beberapa saat yang lalu sangat sepi dan tak ada satupun suara di dalam kepalanya? Lalu mengapa sekarang dia kembali mendengar suara-suara yang memanggil namanya? Terkadang Karma ingin suara-suara itu pergi, tetapi saat suara pergi dia merasa kosong dan hampa. Kemudian suara itu kembali dan membuat Karma bingung. Karma merasa ingin membenturkan kepalanya ke dinding untuk menghentikan suara apapun itu.

Kedua matanya tertutup rapat dengan tangan menutup telinganya, selimut menggantung rendah pada tubuhnya yang meringkuk menyedihkan pada lantai kamarnya sendiri. Ruangan itu masih gelap seperti sebelumnya. Lantai kamar yang dingin cukup menarik perhatian Karma dibeberapa titik saat suara memekakkan yang memanggil namanya tak juga kunjung berhenti. Dia bertanya-tanya apakah saat mati nanti tubuhnya akan sedingin lantai kamarnya.

Bukankah orang-orang selau mengatakan jika orang mati memiliki tubuh sedingin es? Lantai kamar Karma terasa sangat dingin saat disentuh dan mungkin saja itu bisa menjadi suhu tubuhnya nanti. Mungkin Karma harus berbaring untuk membiasakan diri dengan suhu tersebut.

Tiba-tiba saja dia ditarik dari tempatnya berbaring dan dipaksa untuk duduk menatap siapapun yang mengacaukan kegiatannya. Selimut pada tubuhnya terlepas begitu saja saat tubuh Karma dipaksa duduk. Kedua matanya memandang bingung sejenak sebelum membelalak melihat violet di depannya.

Violet menampilkan kemarahan tetapi ada pula kekhawatiran bersama kesedihan.

Violet yang begitu penuh dengan emosi.

Penuh kehidupan.

"Akabane, aku bersumpah kau hanya mau membuatku mati muda."

Karma tidak bisa mendaftarkan suara dari mana itu. Mungkin hanya suara dari kepalanya lagi tetapi suara itu terdengar dekat sekaligus jauh. Berdegung pada telingnya. Dia memilih untuk mengabaikan suara tersebut dan hanya fokus pada violet yang cantik di depannya. Mungkin dia bisa meminta Ibunya untuk membelikannya sesuatu yang memiliki warna serupa. Dia ingat kalung bertahtakan amethyst yang dimiliki bibinya. Warna permata pada kalung itu terlihat sangat mirip dengan violet yang sedang menatapnya. Bisakah dia meminta hal serupa pada Ibunya?


Tbc~

22 Maret 2024 

You are My FeelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang