Chapter 15: Yang Katanya Cemara

4.1K 132 7
                                    

Pagi ini Reygan sudah terlihat rapih dengan seragam sekolahnya. Meski luka di tubuhnya masih terasa begitu sakit dan nyeri, hal itu tak sama sekali mengurungkan niatnya untuk pergi ke sekolah. Bukan tanpa alasan Reygan lebih memilih pergi ke sekolah dari pada harus istirahat dirumah. Jika berada disekolah dia bisa bebas melakukan apapun yang dia mau berbeda jika dia berada di rumah yang ada ia kembali berdebat dengan orang tuanya.

Setelah selesai memakai sepatu sekolahnya, cowok itu bangkit mengambil tas sekolahnya yang berada di meja belajar kamarnya. Kini kamar yang awalnya nampak begitu berantakan sudah ia rapihkan seperti semula dengan bantuan asisten rumah tangganya.

Suara pintu diketuk dari luar membuat Reygan berdecak malas. Tanpa membuka pintu kamarnya ia sudah bisa menebak jika seseorang diluar sana adalah Mamanya. Entahlah bukan maksud durhaka tapi setiap kali mengingat perlakuan Mamanya membuat Reygan kesal. Kesal dengan sikap sok peduli yang wanita itu tunjukkan untuknya. Nyatanya saat dirinya sedang dilanda sebuah masalah yang besar wanita itu begitu enggan mengulurkan tangannya untuk membantu.

Karena pintu bercat putih itu terus diketuk dari luar membuat Reygan kembali berdecak. Dengan malas Reygan pun membuka pintu kamarnya dan menatap sang pelaku dengan datar. Benar saja dugaannya seseorang itu adalah Mamanya. Wanita cantik itu tersenyum tipis menyambutnya.

"Ada apa?" tanya cowok itu dingin.

Tidak ada ekspresi apapun yang ia tunjukkan. Wajah datar nan dingin itu masih sama tak berubah sama sekali.

Senyum wanita setengah baya itu memudar. Wajahnya berubah sendu menatap anak sulungnya yang sikapnya berubah begitu dingin dengannya.

Ia menatap penampilan putranya yang sudah sangat rapih dengan seragam sekolahnya namun sayang dasi yang seharusnya dipasang pada kerah baju putranya justru tersampir di pundak anak laki-laki itu.

"Kamu yakin mau sekolah?" tanya Karina dengan nada selembut mungkin.

Reygan berdehem pelan. Terlalu malas meladeni ucapan Mamanya yang terdengar seperti omong kosong di telinganya.

"Nak, luka mu belum sembuh total, apa nggak sebaiknya kamu istirahat dulu di rumah?" Karina menatap putranya dengan sorot mata begitu sendu.

Ada setitik rasa bersalah pada putranya itu apalagi saat melihat luka pukulan di wajah tampan putranya. Ia seolah menjadi ibu paling jahat karena tidak bisa melindungi salah satu putranya.

"Nggak perlu, nanti juga sembuh sendiri," balas Reygan begitu acuh.

Remaja laki-laki itu berlalu begitu saja meninggalkan Mamanya yang terlihat diam mematung ditempat. Kedua mata wanita itu sudah berkaca-kaca merasakan perubahan pada putranya.

Putra sulungnya itu berubah dingin tak tersentuh pada siapapun. Dan ia sadar perubahan itu terjadi karena keegoisan dirinya sendiri.

Reygan menuruni satu persatu anak tangga dengan cepat. Diruang tamu rumahnya ia tak sengaja berpapasan dengan Darius, Papanya. Reygan tak menyapa pria itu, cowok itu melewati Papanya begitu saja.

Darius menatap kesal punggung putranya yang sudah menghilang dari pandangannya. "Benar-benar tidak memiliki sopan santun."

"Rey, begitu juga karena keegoisan kamu, Mas." Tiba-tiba saja Karina datang yang menyahuti ucapan suaminya.

"Kamu menyalahkan ku, Karin?" tanya pria itu dengan tatapan tajamnya.

Karina mendekat seolah menantang suaminya. Kali ini ia harus berani membela yang seharusnya dibela. Selama ini ia diam dan apa yang ia dapatkan? Hanya rasa sakit dan juga rasa bersalah yang terus menerus menyiksanya setiap saat.

REYGANSHA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang