***
***
***
Hujan tak kunjung reda di awal musim semi. Seolah langit juga ikut berduka menangisi kepergian untuk selamanya Charlus Archer, Grand Duke Rosier yang malang.Orang-orang berpakaian hitam lalu-lalang, keluar-masuk tanah Rosier Chateau yang luas. Tak terkecuali para pelayannya.
Empat tahun sudah Jean berada di kediaman ini, dan baru pertama kali ini melihat banyak orang yang berkunjung, para bangsawan terutama. Ia bahkan bisa melihat keluarga istana dari lebih dekat tanpa pembatas. Dan itu membuat Jean lebih menyembunyikan diri, takut jika ada orang yang mengenali wajahnya. Apalagi kalau orang dari Itsvia yang tentu akan memimpin upacara.
Seharian ini, para pelayan sibuk mondar-mandir mempersiapkan upacara pemakaman tuan mereka yang malang. Putra dan anak satu-satunya tak bisa hadir di pemakamannya sendiri, sangat menyedihkan.
Sungguh nasib yang malang, batin para tamu.
Perang dengan kerajaan Thothage masih berlangsung selama empat tahun ini, dan belum ada tanda akan segera berhenti. Kerajaan Syca semakin dalam kemuraman sesaat adik raja mereka telah tiada, dan semakin mengingatkan lagi mereka pada alasan perang tak surut itu.
Jean memandangi tubuh terbujur kaku dalam peti di depannya ke sekian kali. Begitu rasa bersalah muncul kembali, ia akan memanjatkan doa pada Dewi Viada lagi.
Rasa bersalah yang samar-samar selalu ia bawa semenjak ia mendengar cerita yang tidak ada kepastiannya itu. Bahkan ketika pelayan senior yang bercerita pada mereka telah pergi dari kediaman, rasa bersalah itu membayangi.
Meskipun cuma sedikit, ego Jean masih tak terima.
Mereka bilang, karena Saintess sok bijak itu yang membuat tuan mereka menjadi sekarang ini. Menjadikan Syca dalam masa kelam, di mana perang di wilayah yang jauh terus menghantui rakyatnya. Mereka, para penghuni lama Rosier Chateau, yang bilang seperti itu.
Kendati demikian, Jean tetap kukuh pada pendiriannya -karena dia sendiri yang berada dan tahu apa yang sebenarnya terjadi saat itu, rasa simpati mendorongnya lebih jauh ke dalam rasa bersalah.
Perasaan itu membuatnya secara sukarela mau menjadi pelayan kamar Grand Duke. Cukup sering juga ia membantu Tuan Bauer -yang mantan valetnya- merawatnya, menggantikan perbannya, serta kadang mencoba menghibur Grand Duke tua dengan anekdot-anekdot lucu dari penghuni Chateau, untuk sekedar melupakan sakit dan bau dari tangan kirinya yang telah putus dan membusuk.
Jean sampai meracikan tanaman herbal agar bau menyengat itu berkurang dan tak lagi membuat pria pesakitan nan malang itu semakin depresi dengan keadaan. Tapi sayangnya, Jean tak bisa dan tak tahu harus membantu bagaimana lagi. Dia bukanlah ahli, apalagi seorang tabib yang handal.
Racun dari pedang musuh semakin menggerogoti tubuh.
Jean cuma bisa menaruh banyak bunga dalam peti itu sekarang. Mencoba menjadikan petinya lebih harum sehingga banyak orang tak akan segan untuk sekedar berdiri di dekatnya mengucap salam perpisahan, meskipun sudah dalam kondisi terbujur kaku.
Grand Duke memanglah bernasib sial.
Terjebak dalam konflik antara mertua peyayang yang seorang Raja Sheaniel dan kekeras kepalaan Raja Thothage.
Jean pun sebagai manusia biasa tak akan tahu insiden keji itu akan terjadi dengan demikian.
Tangan Charlus Archer yang malang, hingga mengantarkannya pada kematian.
Pelayan kediaman itu kembali menyapu pandangannya pada interior kuil kuno milik keluarga bangsawan tua Rosier, yang kini darah keturunannya hanya tinggal pada satu orang saja, yang sekarang juga di ambang maut di medan perang sana.
Bisa dilihat dari pilihan di mana ia akan disemayamkan, mendiang Grand Duke adalah anak yang sangat menyayangi sang ibu, yang dulunya seorang putri satu-satunya Duke Rosier.
Jean menengok ke arah pintu besar kuil yang berada dalam area pemakaman pribadi keluarga. Hujan masih tak kunjung reda, dan sesekali kilat menyambar di hari yang semakin larut.
Para tamu tentu tak akan ada yang datang lagi untuk memberi penghormatan terakhir, pikir Jean sebelum bayangan seseorang muncul di tengah pintu itu, membelakangi kilat dan petir yang bergemuruh.
Sebuah kemunculan yang dramatis, batinnya sambil mencoba melihat dengan seksama dan waspada, takut kalau itu orang yang mengenalinya. Ia sudah berhati-hati soalnya, dan secara sukarela memilih berjaga pada malam hari agar tak bertemu dengan orang-orang.
Tapi ternyata, masih ada juga tamu yang datang.
Seorang pria berperawakan tinggi berjalan mendekat ke arah Jean, tidak -tapi ke arah peti di altar kuil dengan langkah lunglai tak ada tenaga lagi sehabis menerjang hujan petir. Sekujur badannya basah dan kotor berlumpur, seolah ingin buru-buru untuk segera datang ke sini meskipun badai sekalipun, cuma demi memberi penghormatan terakhir.
Jean mengamati, sejenak lupa dengan etika yang ia harus terapkan dalam menyambut tamu, rakyat biasa sekalipun. Berasumsi sendiri, mungkin itu salah satu mantan pelayan kediaman yang sangat dekat dengan mendiang Grand Duke dulu, melihat begitu terpukulnya raut wajah pria itu dalam keremangan menatap sosok yang tertidur dalam peti.
Jean menurunkan pandangannya, mencoba memberikan privasi saat pria itu kini bersimpuh sambil memegangi peti Grand Duke.
Tanpa pandangan yang jelas pun ia seakan tahu, air mata sedang mengalir menuruni pipi tamu misterius malam ini berbaur dengan sisa air hujan di wajahnya. Bahkan sang kakak dari mendiang tak sebegitunya merasa kehilangan, batin ironis Jean.
Ini pemandangan yang terlalu intim, pikirnya. Dan ia berpindah tempat duduk di paling belakang, dekat dengan pintu utama, agar dia hanya bisa melihat dari jauh, memberikan privasi.
Tiba-tiba Jean teringat dengan putra Grand Duke yang sekarang masih dalam medan perang.
Akankah pria yang katanya kejam dan dingin itu akan bereaksi yang sama seperti pria yang masih setia di samping peti sana? Atau bahkan lebih?
Atau malahan akan bereaksi sama seperti orang-orang dari keluarga istana itu, dengan tanpa ekspresi hanya menengok sekilas ke dalam peti mati, lalu pergi menyalami para tamu yang mengucapkan belasungkawa.
***
A/n:
Ini penjelasan lebih clear untuk yang masih bingung, mengenai gelar Louis di cerita ini kenapa dia dipanggil Pangeran juga?
Begini, ayahnya Louis (Charlus Archer) adalah adik raja, jadi Louis masih keturunan keluarga royal dan dekat dengan garis tahta, karena itu dia masih mendapatkan gelar pangeran. Sementara neneknya dulu anak satu-satunya Duke Rosier sehingga pewarisan gelar Duke diberikan kepada ayah Louis yang tak punya gelar lain selain pangeran kedua, dan karena hubungan keluarga kerajaan itu juga, gelar Duke dinaikan menjadi Grand Duke. Terus juga karena ibunya Louis adalah putri kedua kerajaan Sheaniel. Semoga mudah dimengerti^^ komen saja kalau masih belum paham, dengan senang hati akan menjelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Saintess' Escape
Romance𝑹𝒐𝒎𝒂𝒏𝒄𝒆 𝑭𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔𝒚 Seorang Saintess yang dimuliakan di penjuru Kerajaan Syca, memilih kabur dari kuil yang telah membesarkannya, hanya karena merasa muak dengan semua masalah yang dilimpahkan padanya untuk diselesaikan. Sementara itu, tan...