07. The Celebration

105 15 3
                                    

***

***

***

Louis Archer akhirnya menerima gelar barunya sebagai Grand Duke Rosier, meneruskan posisi mendiang sang ayah secara resmi. Baru saja tadi siang secara privat dan formal di Istana Syca, pamannya, alias Raja Credence, memakaikan mahkota kecil Grand Duke di atas kepalanya dan menyerahkan kotak perhiasaan sebagai hadiah dari kerajaan lengkap dengan monogram inisialnya. Sementara urusan lainnya sudah ia selesaikan beberapa hari yang lalu menjelang pelantikannya.

Lalu sekarang, ia berdiri memandang jenuh dengan segelas anggur di tangan kanannya di samping sang paman yang tertawa riang melihat pertunjukkan branle* yang dilakukan oleh permaisuri beserta dayang-dayangnya. Sesekali mengernyit mendengar suara tawa keras pria tua di sampingnya saat beberapa kali mendapat kedipan menggoda dari sang istri. Entah kenapa itu bagi telinganya terdengar tak normal leluasa, seakan dibuat-buat.

Louis mengalihkan pandangannya pada lelaki muda yang tengah duduk di sisi satunya sang paman, yang tak lain adalah sepupunya sekaligus putra mahkota Syca. Pria sembilan tahun lebih muda darinya itu terlihat sama sekali tak keberatan dengan interaksi kedua orang tuanya. Tanpa malu, senyumnya malah semakin mengembang bersama tawa kecil. Mungkin karena Louis sendiri tak pernah merasakan ayah-ibunya berinteraksi penuh sayang seperti itu, jadi ia merasa itu sangat konyol. Yah, ibunya sudah tiada sejak dirinya masih lima tahun, dan ia terlalu kecil untuk mengingat semua memori interaksi antara ayah dan ibunya kala itu.

Sejujurnya pesta ini tidaklah perlu. Sebuah perayaan untuk Louis yang akhirnya menyandang gelar Grand Duke, itu yang dikatakan oleh bibinya sang penyelenggara, sekaligus sebagai pesta dansa pembuka musim sosial tahun ini. Sangat tak perlu. Dirinya bahkan tak ikut andil dalam persiapan perayaan miliknya, bibinya mengatakan untuk tinggal hadir saja, semuanya sudah diurus.

Louis membuang muka lagi, menghitung dalam batin sampai ia bisa mengundurkan diri dari pesta. Manik birunya menyapu ruangan, mencari beberapa sosok, tapi nihil.

Tentu saja, dia tak mengundang mereka.

Apa yang ia harapkan dari wanita itu. Pamannya masih tertawa puas tanpa perasaan terganggu. Melihat kemeriahan di tengah aula itu mendekati akhir, Louis mencoba pamit undur diri.

"Louis! Ini pesta untukmu, tidakkah kau menari sesekali?" cegah bibinya dengan pipi masih merona sehabis keriaan menari tadi. Wanita dengan rambut putih dan kepala bermahkota mewah itu berjalan mendekat bersama para dayangnya mengekor. Suara cekikikan mereka terdengar tak terelakan meskipun tersembunyi di balik tangan masing-masing.

"Saya kira tidak perlu, Yang Mulia Permaisuri." jawabnya mencoba sopan,

"Saya takut, tarian saya tak cukup untuk menghibur para tamu terhormat."

Bibinya mengipaskan tangan,

"Oh omong-kosong! Aku yakin presensimu di sini sudah cukup menghibur orang-orang. Benarkan, nona-nona?"

"Tentu saja anda benar, Yang Mulia Permaisuri!"

Para dayang terutama dayang muda menjawab malu-malu disela kikihan mereka. Pamannya hanya tertawa keras mendengarkan di dekat mereka.

Dari jauh bola mata Louis menangkap tatapan menggelikan -dan mengerikan baginya- dari sosok wanita berambut merah memakai gaun hijau dengan niat yang kentara melihat potongan baju penuh bukaan itu. Louis mengalihkan pandangan segera begitu kerlipan mata menggoda terlempar ke arahnya bersama senyuman dari wanita yang terkenal sebagai selir kesayangan pamannya. Semakin menambah alasannya untuk segera keluar dari sini.

The Saintess' EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang