***
***
***
"Angkat kepalamu dan tegapkan badan."
Gadis yang akan menginjak usia tujuh belas tahun dalam dua bulan itu melakukan apa yang diperintahkan, mengangkat kepalanya dan menahan perih di sekujur tubuh.
"Seorang bangsawan selalu menjaga postur apapun situasi dan kondisinya. Itu yang harus kau camkan, jika memang ingin menjadi setara dengan mereka."
Apa mereka juga akan tetap mengangkat kepala meski di bawah guillotine sekalipun?
Cuit sindirnya dalam batin, tak berani untuk mengeluarkannya dan berakhir dengan tamparan lagi. Sudah tak ada kulit pipi yang bisa menerima sengatan lagi, semuanya merah panas dan perih.
Saintess yang dimuliakan apanya. Di ruang ini, di mata Countess Devon, dirinya tetaplah gadis yatim piatu yang dibesarkan oleh kuil untuk menjadi budak. Wanita tua gila yang membuat hidup Vivienne berasa dalam penyiksaan setiap minggunya.
"Karena ulang tahunmu tinggal sebentar lagi, aku akan ke sini dua kali dalam seminggu. Dan pakai semua yang kau pelajari di manapun kau berada. Kalau bisa, ajari juga orang-orang bar-bar di sini bagaimana makan tanpa terlihat menjijikkan."
"Baik."
Sorotan tajam mengarah padanya disertai kernyitan di dahi wanita berusia lima puluh enam tahun itu.
"Jawab dengan benar dan keraskan suaramu! Orang-orang akan salah paham dengan ucapan tak jelasmu itu."
"Baik, Countess." Vivienne menahan-nahan tangannya untuk tak melempar salah satu koleksi cawan mahal milik Cardinal di ruangan, ke arah wanita tua yang mulai berjalan ke pintu keluar dengan tongkat sihir-nya.
Benar-benar tinggal menunggu waktu sampai ia tumbang, tak kuat menerima lagi cambukan dan pukulan dari tongkat jalan itu. Terlebih si nenek penyihir bilang frekuensi kunjungannya akan meningkat.
"Selamat jalan, Countess Devon." ucap Vivienne dengan hormat sesuai etika yang gurunya inginkan.
Begitu pintu ruangan tertutup lagi, gadis muda itu jatuh terduduk ke lantai dan menyalurkan frustasinya dengan berteriak dalam diam dengan giginya menggertak dan urat-urat nadinya menegang, sebelum menarik napas panjang dan menenangkan diri. Rasa panas dan perih masih menjalari tubuhnya, terutama kedua kaki dan tangan. Ia bahkan tak tahu apa jari-jarinya bisa digunakan untuk beraktivitas untuk beberapa hari ke depan tanpa merasa nyeri.
Sambil menguatkan kakinya, Vivienne berdiri dan berharap bisa secepatnya keluar dari ruang penyiksaan ini. Ia ingin sekali kabur.
Banyak sapaan dan panggilan untuknya di lorong kuil, ia lewati begitu saja dengan langkah cepat. Dirinya mencari kebebasan dari tempat penuh tekanan ini.
Area belakang kuil dengan hutan lebat di sekitarnya menjadi tempat persembunyian Vivienne untuk beberapa minggu terakhir, setiap ia ingin mencari privasi. Kamar tidurnya masih terasa sempit dan itu membuatnya merasa sesak.
Ia menyibak lapisan gaunnya dan memeriksa separah apa keadaan tubuhnya, sementara luka dari minggu kemarin belum sembuh sepenuhnya. Kedua betisnya penuh lebam, apalagi di tulang keringnya, pantatnya juga terasa akan terbakar. Bahkan tak segan juga punggungnya ikut menjadi samsak dengan dalih membenarkan postur muridnya. Penyihir itu seakan menghitung pukulan dan harus lebih dari hari sebelumnya, sekalipun kesalahan yang Vivienne lakukan berkurang. Tangan dan jarinya juga terhiraukan setiap pelajaran etika makan, meskipun tak separah luka di kaki. Karena wanita tua itu dengan liciknya tahu area tubuh mana yang tak terlihat dari publik.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Saintess' Escape
Lãng mạn𝑹𝒐𝒎𝒂𝒏𝒄𝒆 𝑭𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔𝒚 Seorang Saintess yang dimuliakan di penjuru Kerajaan Syca, memilih kabur dari kuil yang telah membesarkannya, hanya karena merasa muak dengan semua masalah yang dilimpahkan padanya untuk diselesaikan. Sementara itu, tan...