42. Dilemma

31 10 3
                                    

***



***



***

"Apa yang sedang kau lakukan di sini, hmm?"

Pertanyaan tersebut datang kembali dengan lembut, dan serta merta bak mengganti suasana sekitar mereka. Vivienne membuang muka dan kembali menjauhkan diri dari jangkauan lelaki itu.

"Tak ada, hanya mencari udara segar," jawabnya tak acuh pelan sebelum balik duduk ke posisi awalnya, mengurungkan niatnya tadi yang akan menghindar. Lagipula Vivienne yang pertama kali di sini, 'kan?

Tapi, apakah dirinya memang menginginkan pria itu untuk segera meninggalkannya?

Louis menganggap keberadaan wanita di dekatnya yang enggan pergi, sebagai undangan untuk ikut duduk di sampingnya, di atas hamparan rumput lebat berembun di sekitar pohon maple yang tampak jarang dirawat.

"Kalau kau punya urusan denganku, tolong segera katakan," pinta Vivienne menengok ke pria yang duduk bersandar pada batang besar pohon. Tata kramanya sudah terlempar jauh.

Pria bangsawan itu menatapnya sekilas sebelum mengedarkan mata lagi ke sekitar, terlihat masih merunut pikiran dalam kepala. Jeda mengisi terlalu lama, Vivienne kembali bersuara, mencoba mengeluarkan opininya.

"Bukankah lebih mudah menerima lamaran Raja Thothage dan menggagalkan rencana mereka dari dalam?"

"Supaya perang lebih mudah dicegah, 'kan?"

Vivienne mengganggukkan kepala.

"Tapi aku tak ingin menikah dengan putrinya walaupun cuma sampai pertunangan."

Tatapan iris biru itu kepadanya membuat pernyataan bernada datar tadi, terdengar lebih tegas. Vivienne mengalihkan pandangan, bermaksud menghindar dan membuang berbagai pertanyaan penuh penasaran beserta rasa egois, tak ingin lelaki itu bisa membaca raut wajahnya.

Perasaan hatinya telah menjadi lebih kacau semenjak ia mengetahui kemungkinan adanya kehidupan orang lain dalam perutnya. Vivienne tak mungkin meminta pemeriksaan lebih lanjut kepada tabib di sini. Tapi hati kecilnya masih berharap pemeriksaannya tadi pagi buta hanyalah kekeliruan. Sedangkan dirinya sendiri hanya ingin menghilang dari tempat ini dan memulai hidup baru yang sederhana, mempunyai tempat tinggal yang bisa ia sebut 'rumah' tanpa perasaan 'sementara waktu'. Itulah yang ia sangat impikan begitu keluar dari kuil.

Sementara itu hatinya juga mulai menginginkan hal-hal lain yang tampak begitu mustahil. Mulai merasakan sakit seolah kecewa pada kenyataan bahwa lelaki yang kini tengah duduk di sampingnya, akan punya wanita lain yang mendampingi di masa depan, dan yang lebih pantas.

Vivienne mencoba membuat benteng sebelum hatinya jatuh merosot lebih dalam ke jurang fatamorgana yang telah ia rajut sendiri tanpa disadari.

Pria dengan status tinggi seperti Louis Archer tak akan bisa ia miliki tanpa perjuangan, dan Vivienne enggan untuk melakukan perang, karena berbanding terbalik dengan kehidupan damai nan sederhana yang ia impikan. Apakah itu cukup masuk akal? Ataukah Vivienne saja yang masih tak cukup besar mencintainya? Tapi dirinya tak pernah merasakan perasaan mendamba sejauh ini akan seseorang.

Dan bukankah keberadaan keturunan bisa menjadi jalan pintas yang mudah untuk mengikat pria itu di sisinya? Melihat bagaimana perhatian Louis masih hangat-hangatnya kepada Vivienne terlepas banyak hal terjadi. Namun tentu saja, ia tak bisa menjadi seegois itu, meskipun si Grand Duke muda menyambut dengan senang hati. Tapi Vivienne merasa seakan telah memanipulasi orang untuk menerimanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Saintess' EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang