***
***
***
"Kirim ini ke Permaisuri besok pagi."
"Baik, Lady."
Setelah mendapat anggukan dari nona-nya, si pelayan undur diri dan menutup kamar tamu yang sudah menjadi milik majikannya untuk empat hari lagi.
Elaine Lyre kembali ke meja tulis yang disediakan, dengan jendela yang menghadap ke halaman belakang kediaman. Netra coklat besarnya menyipit ketika melihat sosok samar di luar mendekati sumur, dan atmosfer di ruangan menjadi dingin tiba-tiba.
Pelayan yang bermuka arang tadi, simpulnya lama setelah melewati rasa takut akan sosok lain. Pasti sedang mencuci mukanya, tebak Elaine dengan sedikit rasa iba, terdengar seolah menyakinkan dirinya sendiri. Sebelum lanjut menyimpan kembali perkamen yang ia gunakan tadi dan beranjak tidur.
Gadis pirang muda itu membuang napasnya dengan nyaman begitu berbaring di kasur empuk. Pandangan matanya ke langit-langit kanopi ranjang yang penuh ukiran cantik, namun fokusnya pada bayangan yang terbentuk di kepala, tentang apa yang terjadi selama di drawing room dari posisinya, hingga hari esok setelah si Countess cerewet itu pergi.
Bibir kecil penuhnya tersenyum puas akan imajinasi yang tergambar.
Dirinya tak ingin menunggu lagi sekalipun sehari dua hari, seperti saran Permaisuri Eleanor. Menunggu untuk momen di mana ia dan Grand Duke Louis bisa ditinggal sendirian di rumah.
Itu adalah rencana yang sempurna untuknya. Saat pertama kali Permaisuri menawari undangan ini, ia sangat bingung dengan pilihan chaperone yang jatuh kepada Countess Devon untuk menemaninya, padahal ia lebih dekat dengan Countess Laurent yang selalu mendampinginya di tiap acara saat keluarganya tak bisa hadir.
Ternyata Permaisuri Eleanor sepintar yang ia dengar. Tak sedikit yang tahu dari rumor yang beredar, namun ini cukup menjadi rahasia umum di kalangan wanita bangsawan, bahwa Countess Devon kemungkinan mulai pikun dan tidak seprima yang wanita tua itu ingin percayai. Hal tersebut bisa menjadi alasan yang pantas untuk mengirim pulang chaperone-nya lebih awal jika ada tanda daya tubuhnya melemah. Dan Elaine bisa punya kesempatan untuk berdua dengan Sang Grand Duke di kediaman yang sepi ini.
Membayangkannya saja sudah membuat perasaan senang membuncah dalam diri Elaine. Memikirkan apa saja yang akan terjadi, insiden-insiden yang kurang pantas dilihat publik, atau kontak mata sembunyi-sembunyi seperti adegan yang tertulis di deretan novel terlarang-nya. Pipi Elaine sudah memerah penuh antusias.
Tak ada lagi omelan, selaan bernada cemooh yang selalu menggurui. Countess tua itu bukannya meninggikan Elaine di mata Grand Duke muda, malah seakan berniat menjatuhkannya dengan seringnya wanita itu mengoreksi sikap Elaine. Mungkin memang ada benarnya gosip soal kepikunan Countess Devon.
Yah, itu hal yang cukup wajar bagi orang tua seusianya. Dan ada untungnya juga bagi Elaine di situasi sekarang ini.
Mengingat bagaimana orang tua itu lupa nada lagu yang begitu populer dari lama. Mengoreksinya seakan Elaine gadis bodoh, terlebih di depan pria menawan dengan garis rahang tegas itu. Countess Devon selalu memperlakukannya seperti bocah ingusan yang tak tahu apa-apa. Padahal Elaine sering mendapat pujian dari para tutornya, betapa cerdas dan elegan-nya Elaine Lyre. Sangat mengesalkan.
Dia harus bersabar sedikit lagi. Tinggal hari esok sampai ia bebas dari ocehan wanita tua itu, dan melakukan rencananya sendiri. Apalagi sekarang, sepertinya pekerjaan Grand Duke sudah beres, dan akan punya banyak waktu senggang selama hari tersisanya, seperti yang dikatakan kepala pelayan waktu menyambutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Saintess' Escape
Roman d'amour𝑹𝒐𝒎𝒂𝒏𝒄𝒆 𝑭𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔𝒚 Seorang Saintess yang dimuliakan di penjuru Kerajaan Syca, memilih kabur dari kuil yang telah membesarkannya, hanya karena merasa muak dengan semua masalah yang dilimpahkan padanya untuk diselesaikan. Sementara itu, tan...