***
***
***
Mereka berdua tahu kalau 'anak itu' yang dimaksud adalah Louis. Dan Vivienne bisa merasakan penyesalan pria itu muncul di ruangan, begitu menyadari ia terlambat menangkap basah pertemuan rahasia antara Raja Thothage dan bibinya yang baru saja terjadi.
Tapi itu bukan urusannya. Nyawa seseorang menjadi taruhan pun, tak menjadi urusannya juga. Vivienne hanya perlu memikirkan rencana keluar dari untaian benang yang kusut ini sebelum menjerat dirinya. Berpikir keperluannya di ruang ini selesai, perempuan ber-iris mata abu-abu itu mengambil napas panjang dan melepaskan seraya menarik diri dari sandarannya pada dinding, sekaligus menyentak pergelangan tangannya dari cengkeraman pria itu. Sayangnya, tak ada keberuntungan untuknya.
"Urusanku belum selesai denganmu." tukas Louis dingin dengan tatapan tajam sembari menguatkan kembali genggamannya dan menahan Vivienne. Dengan sekali dorongan kecil, lelaki itu menutup pintu di depannya, sekaligus mengunci mereka berdua di ruang istirahat tamu yang berisi satu set sofa besar dan meja.
"Kalau ingin jawaban untuk pertanyaanmu tadi, tenang saja. Aku tak mengatakan apapun yang bisa membuat entah-apa-rencana-mu itu mengalami kegagalan. Karena aku memang tak tahu apa-apa, selain kalian berdua membenci satu sama lain. Hanya itu." balas Vivienne lugas panjang lebar sambil sesekali berusaha menarik tangannya yang masih terkunci.
Dan dengan ekspresi datar nan dinginnya yang menjengkelkan, pria itu menanggapi.
"Aku tak begitu membutuhkan jawaban dari pertanyaan itu."
Vivienne mengerutkan keningnya kesal mendengar respon tersebut.
"Aku perlu kau melakukan sesuatu untukku, mumpung kau di sini."
Cukup sampai kalimat tersebut, Vivienne bisa mengerti apa yang Louis maksud. Dan ia sangat tak ingin berada dalam cengkeraman pihak manapun.
"Yah, sayangnya tak ada peraturan aku harus mematuhimu, bukan?" balasnya ringan dengan senyum lebar tak tulusnya.
Sorotan tajam iris biru itu menghilang dalam kedipan, dan tanggapan sama ringannya keluar.
"Kalau kau memang ingin lehermu lebih cepat berada di antara pisau penggal, karena terbukti melakukan penipuan publik bertahun-tahun, akan aku persilakan. Meskipun topengmu akan terbongkar cepat atau lambat, tapi paling tidak, kau bisa hidup nyaman lebih lama jika mau menurut-"
"Kenapa aku harus-? Kau bahkan tak punya bukti."
"Cardinal-mu bisa menjadi saksi."
"Saksi untuk apa memang?" tantang wanita itu untuk menyembunyikan kecemasannya.
"Kalau kau hanyalah budak yang dia jadikan Saintess mainan untuk keserakahannya."
"Kau menangkap mereka." Vivienne memicingkan matanya. Kalimat itu terdengar lebih ke pernyataan menuduh dibanding pertanyaan.
"Seharusnya aku lakukan hal itu sejak dulu." Louis memberikan tatapannya pada perempuan bergaun mewah di hadapan yang terdiam tampak sedang berpikir meskipun menyorot sengit ke arahnya.
Vivienne mengubah sorot manik abu-abu itu.
"Baiklah. Apa yang harus dilakukan orang rendahan ini untuk anda, Yang Mulia Grand Duke Rosier?" tanyanya dengan selipan ejekan di akhir, seraya kembali menarik lembut tangannya yang belum dilepaskan sejak tadi, masih gigih berusaha.
Louis mematung tak langsung menjawab. Mendengar balasan itu keluar dari mulut mantan pelayan Rosier, malah mengingatkannya akan memori manis di kamar Arcus Hall, bagaimana ia membalas nada sindiran sok-pintar seperti tadi dengan ciuman beringas. Dulunya begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Saintess' Escape
Romance𝑹𝒐𝒎𝒂𝒏𝒄𝒆 𝑭𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔𝒚 Seorang Saintess yang dimuliakan di penjuru Kerajaan Syca, memilih kabur dari kuil yang telah membesarkannya, hanya karena merasa muak dengan semua masalah yang dilimpahkan padanya untuk diselesaikan. Sementara itu, tan...