04. Arcus Hall

259 33 15
                                    

***

***

***

Itu memang perjalanan yang sulit, tapi Jean masih bisa tertidur, dengan tak sengaja tentu saja. Lalu ia terbangun sesaat roda kereta melindas sesuatu yang keras. Dan mereka sudah tiba di jalanan ibukota dengan senja menyapa.

Suasananya seperti yang ia ingat dulu.

Secara resmi, Jean seharusnya belum pernah menginjakkan kaki di ibukota Syca, karena tentu saja dia tak pernah punya kepentingan di sini. Dirinya seorang Saintess yang dimuliakan, maka orang yang ingin bertemu dengannya harus pergi ke Kuil langsung bersama sumbangan yang ditunggu-tunggu oleh Kuil.

Namun, dia pernah ke ibukota secara diam-diam untuk mencari solusi masalah salah satu hamba kuil. Kalau dipikir-pikir, dirinya dulu memanglah Saintess sejati. Mengabulkan dan menyelesaikan masalah para pengikutnya. Bahkan ia memakai uang pemberkatan pribadinya demi memberikan solusi. Melihat dirinya yang dulu, tampak sangat bodoh entah kenapa.

Tak terasa satu sudut bibir Jean terangkat kecil sambil melihat pemandangan sungai Fyrian di sepanjang jalan ibukota yang cukup ramai.

Tak sampai setengah jam, kereta kuda berhenti di depan town house milik keluarga Grand Duke. Arcus Hall tampak lebih kecil dibandingkan Rosier Chateau, tetapi masih terlihat menawan. Namun, tetap saja terlalu kecil untuk sekelas keponakan Raja.

Jean baru menyadari betapa lelahnya tubuhnya begitu kakinya menapak turun dari kereta.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan pada Benjamin yang langsung dijawab dengan anggukan dan senyum kikuk. Membuat Jean bertanya-tanya, apa anak itu pernah bepergian jauh tanpa orang tuanya atau belum.

Mereka berjalan jauh di belakang tuan mereka yang sudah disambut oleh pengurus kediaman, seorang wanita yang mungkin seumuran Nyonya Koch -Nyonya Spinner, dan 4 pelayan wanita lagi yang di atas Jean, ia tebak mereka pasti sudah menikah juga. Tak terlalu sedikit, tapi juga terlihat kurang untuk mengurus kediaman sebesar Arcus Hall.

"Di mana Jeremy?" Tuan mereka bertanya setelah menyapa singkat.

"Membeli makanan untuk kuda-kuda Yang Mulia." Nyonya Spinner menjawab, kemudian ia melirik dua orang yang dibawa tuannya, terutama si pelayan wanita.

Pangeran Louis yang peka, langsung memperkenalkan mereka.

"Ini Benjamin, putra Tom. Dia yang akan menjadi valet-ku sekarang, dan karena dia masih belajar, ayahnya meminta pelayan senior untuk memantaunya."

"Lalu kenapa tak Thomas saja yang 'memantau'?"

"Mel sakit, kau tahu. Jadi Tom harus pergi ke Hagan mendadak."

"Kalau begitu kenapa tak bilang saja kemarin, saya masih bisa carikan anda valet yang mumpuni, Yang Mulia."

Jean pikir, Nyonya Spinner sungguh kepala pelayan yang berani mengeluarkan opini kepada tuannya, mendengar cara berbicaranya seperti itu. Dari ekor mata, Benjamin terlihat berdiri di samping dengan tak nyaman.

"Sudahlah, tak perlu. Tom juga tahu aku punya masalah kepercayaan, jadi dia tak bisa menunjuk sembarang orang untuk melayaniku. Dan mereka berdua sudah Tom percaya." Ujar tuan mereka menenangkan.

Seperti kata Nyonya Koch dan Tuan Bauer, Pangeran Louis memang sangat dermawan dan ramah. Entah dari mana rumor kejam dan bengis nan dingin itu berasal, Jean tak habis pikir. Meskipun baru beberapa kali ia menyaksikan kedermawanan tuannya, tapi ia yakin Pangeran Louis orang yang jauh dari kata kejam.

Para prajurit yang kembali lebih dulu dari perang yang berbicara mengenai hal itu, tapi tentu saja karena itu perang orang-orang akan bersikap bengis pada musuhnya. Tak mungkin 'kan menebas leher orang dengan ramah? Dan sekarang malah Jean tak bisa membayangkan wajah ramah itu mampu menebas leher orang.

The Saintess' EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang