***
***
***
Melihat ringisan pada wajah partner-nya ketika mengecek luka tusukan tadi, membuat Jean bergerak cepat, merobek bajunya di bagian yang masih cukup bersih dengan pisau yang ia selalu bawa untuk berjaga-jaga saat keluar, berniat membantu menutup luka itu.Untuk sesaat, Louis melihat sebuah belati -yang terlihat masih baru, dikeluarkan dari balik jubah pelayannya dan digunakan untuk merobek baju lapisan kedua yang sederhana itu. Ia tahu itu tak sopan untuk melihat lapisan pakaian lawan jenisnya, apalagi sepasang betis tampak lembut itu, tapi matanya tertuju lagi pada jubah beludru hijau gelap yang dipakai wanita yang masih terduduk di tanah sibuk memotong kain, dan kembali pada senjata kecil di tangannya.
Sangat menarik, pikir lelaki itu mencoba menebak kualitas dua barang yang dipakai pelayannya.
"Kalau tidak keberatan?" Tanya Jean seraya menyodorkan selembar potongan kain panjang yang ia ambil dari petticoat-nya, tak berpikir panjang pada urusan sopan atau tidak tindakannya tadi. Dan tanpa menunggu jawaban, wanita itu bergeser mendekat untuk mengecek sendiri lukanya sembari menyuruhnya duduk di tanah. Pria itu membiarkan.
Jean seketika mendecak melihat, beruntung darahnya tampak tak lagi mengalir keluar dengan banyak.
"Ini tidak begitu dalam," komentar Louis mencoba menenangkan, dan menerima tatapan kasihan tak nyaman dari Jean. Tapi dia pernah mendapatkan luka yang lebih parah lagi.
"Beruntung ini tidak mengenai ususmu." gumam wanita itu seraya melihat ke sekeliling mereka yang hanya hutan belantara.
"Kita perlu air untuk membersihkannya." ucap Jean sesaat dan bertanya lagi.
"Kira-kira sejauh mana jalan pulang? Berapa lama?"
"Lima belas sampai dua puluh menit kurang lebih," Louis menjawab.
Jean menghela napas, "kita tutup lukanya untuk sementara waktu."
Tangannya mulai bergerak melingkari pinggang Louis memposisikan kain potongan tadi, tanpa ragu.
Jean menghela napas lagi melihat kain petticoat-nya cuma bisa menutup tiga kali putaran pinggang itu, sehingga lukanya kurang tertutup dengan baik. Mau bagaimana lagi, ini hanya pertolongan darurat, pikirnya.
"Terima kasih." ucap Louis acuh tak acuh, terdengar sepantas sopan-santun saja.
"Aku yang seharusnya berterima kasih." balas Jean, meskipun dalam hati merasa segan karena pasti hal itu akan berputar kembali pada alasan insiden tadi terjadi, dan selain malas, ia juga tak ingin menjelaskan kebenarannya, apalagi mengarang cerita lagi. Tapi ia juga masih punya rasa bersalah. Ia bahkan menahan diri untuk tak bertanya alasan tuan mereka berada di jalanan ibukota sendirian, ia yakin itu bukan jalan-jalan semata.
"Ayo kita pulang saja." ajak Jean seraya berdiri, mencoba mengalihkan pembicaraan yang bahkan belum dimulai itu.
"Kau bisa jalan? Atau perlu dibantu?" tanyanya lagi penuh basa-basi.
Louis menggelengkan kepalanya pelan dengan senyum sinis 'tak menyangka' keluar,
"Kau tak lihat tadi aku berlari bersamamu?"
Jean mengangkat kedua bahunya, "adrenalin bisa membuat orang melupakan rasa sakit mereka."
"Sebagai seorang kesatria, aku sudah terbiasa dengan luka seperti ini." balas Louis setelah menggelengkan kepalanya lagi seraya kembali berdiri, seolah harga dirinya baru saja yang ditusuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Saintess' Escape
Romansa𝑹𝒐𝒎𝒂𝒏𝒄𝒆 𝑭𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔𝒚 Seorang Saintess yang dimuliakan di penjuru Kerajaan Syca, memilih kabur dari kuil yang telah membesarkannya, hanya karena merasa muak dengan semua masalah yang dilimpahkan padanya untuk diselesaikan. Sementara itu, tan...