15. Sweet Nothing

74 11 0
                                    

***

***

***

Entah sudah berapa lama Louis Archer duduk di bangku dapur sendirian di tengah malam yang sunyi, berbanding terbalik dengan isi kepalanya yang sedari usai makan malam tadi berkecamuk. Ia bahkan belum sempat memejamkan mata.

Setelah membaca surat pengantar itu, Louis segera mengirimkan surat ke istana, meminta penjelasan untuk urusan apa seorang Lady yang sama sekali tak ia kenal akan menginap selama seminggu di rumahnya. Di surat pendek itu Permaisuri hanya bilang karena atas rasa sayangnya pada Lady in waiting-nya itu, ia mengabulkan permintaan Lady Elaine saat sakit demam parah minggu kemarin, untuk berkunjung ke Arcus Hall dan menikmati taman tengahnya yang terkenal sangat indah, hasil karya dari artis Sheaniel. Padahal ia sendiri tak pernah menyebarkan undangan seperti itu. Dan ini rumahnya, propertinya, tidakkah Louis sendiri yang seharusnya mengizinkan atau tidak? Apalagi dalam tiga hari lagi. Itu permintaan yang sangat kekanakan. Dan Louis sangat tahu tujuan dari itu.

Permaisuri itu semakin semena-mena. Pasti persiapan sudah selesai dilakukan dari pihak Lady itu, dan penolakan pasti akan membuat Duke Lyre tak terima. Haruskah Louis bertindak langsung dan persetan dengan konsekuensi besar dari hal seremeh itu?

Louis mengusap wajahnya kasar dengan kedua tangan seraya menghela napas berat, seakan mempersiapkan diri pada nasibnya selama seminggu ke depan. Pasti berbagai rumor akan tersebar dengan kehadiran nona bangsawan itu di kediamannya. Kembali secepatnya ke Rosier meskipun bisa dalam tiga hari juga sama saja seperti penolakan.

Seminggu adalah waktu yang cukup lama. Kediamannya yang sunyi dan nyaman akan terusik, meskipun cuma ketambahan satu orang -dua orang, jika lady itu membawa pelayan, dan tiga jika ada seorang Chaperone. Tidak, pasti seorang Chaperone adalah suatu keharusan. Karena tak mungkin seorang wanita seperti Lady Elaine dari keluarga terpandang menghancurkan reputasinya demi hal seperti itu. Tetapi Louis masih bergidik ngeri, karena dirinya sangat tahu apapun bisa dilakukan untuk memenuhi tujuan. Membayangkan kedipan mata dan senyum malu-malu di setiap gerak-gerik... lalu disertai kikikan kecil... mereka tampak polos sekaligus menjengkelkan.

Namun kenapa dirinya merasa biasa saja dengan kedekatan Jean? Otak kecilnya mengajukan pertanyaan secara tiba-tiba.

Jean bersikap normal. Jawabnya dalam batin pada dirinya sendiri.

Dan ada banyak yang seperti Jean.

Iya, Louis juga tahu itu. Namun naasnya dia yang sering bertemu wanita seperti Lady Elaine dan kawanannya. Dan secara tak sadar ia mulai membanding-bandingkan setiap nona yang pernah ia temui dengan pelayan-nya.

Seorang wanita biasa yang misterius. Membuat memorinya berputar mundur kembali pada insiden tadi sore. Satu lagi rahasia yang disembunyikan oleh pelayan itu. Berapa banyak lagi yang masih belum muncul ke permukaan, batinnya bertanya. Tapi anehnya, Louis tak merasa geram dengannya, malahan ia ingin menguak lebih jauh sampai ke dasarnya.

Dua barang yang dibawa tadi sore, jubah beludru emerald dan belati itu, tentu memiliki kualitas yang orang dengan status masih pelayan rendahan jarang miliki, bahkan mungkin tidak ada. Pisau itu masih tampak baru atau mungkin tidak sering digunakan, terlihat dari masih tajam dan mengkilapnya besi itu, dengan ukiran yang detail pada pegangan dan sarungnya. Ia yakin itu bukan barang yang umum diperjualbelikan juga, pasti secara kustom, dan itu harganya lebih mahal.

Steward-nya pernah bilang Jean putri seorang pekerja dari pengepul barang lintas kerajaan, tapi itu tak serta-merta cukup menjelaskan barang-barang berkualitas tinggi yang ia miliki. Apalagi dengan tata krama khas bangsawan yang terkadang masih muncul di beberapa kesempatan. Louis pikir seperti seorang putri bangsawan yang dibesarkan dengan tegas sekaligus bebas di rumahnya.

The Saintess' EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang