36. Something to Offer

51 10 0
                                    

***



***



***

Rombongan Thothage tiba sesuai yang dijadwalkan.

Aula masuk istana utama di mana Raja Credence tinggal -Istana Hawthorn- yang dihias menyambut kedatangan mereka. Dan ini pertama kalinya VIvienne ke sini, karena kunjungan tahunannya ke istana hanya sebatas di kuil privat milik keluarga aristokrat tersebut. Skala interiornya tentu lebih megah dari paviliun Permaisuri. Dengan langit-langit tinggi putih berkubah, penuh ukiran para malaikat pembantu Dewi Viada, begitu mewah dengan adanya lampu gantung kristal besar sebagai poin utama ruangan. Para penghuninya tak luput merias diri dengan kemewahan tren mode tahun ini yang cenderung ke warna-warna pastel, bahkan para pria bermartabat. Tentu masih bisa ditemukan beberapa yang lebih memilih warna gelap, kontras, tapi bisa dihitung jari dan menjadi mencolok di lautan pastel terang.

Salah satunya Felicia Plouder yang mengenakan gaun ungu gelap dengan rumbai besar yang mengelilingi tubuh, mengingatkan Vivienne pada dekorasi kue entah mengapa. Satu bulu merak menjadi aksesoris manis di rambut merah yang kini tergelung tinggi, tak seperti biasanya yang seolah menantang arus tren. Setelah mengamati dari kejauhan secara diam-diam, Vivienne pikir, wanita yang tak lebih tua dua tahun darinya itu berjiwa pemberontak dan penuh ambisi.

Sedangkan Putri Ketiga Thothage yang menemani sang ayah, Ciara Duignan, memilih mengikuti tren di Syca dengan gaun biru pastelnya. Perempuan muda yang berani menyuarakan pendapatnya, begitu impresi pertama Vivienne. Hampir-hampir mirip dengan Selir baginya. Jika Plourde bersikap menantang publik, Putri Ciara mempertanyakan dengan berani, hal tabu sekalipun, meskipun tak ada niat merendahkan sama sekali.

Contohnya kejadian dengan Vivienne tadi saat perkenalannya oleh Permaisuri kepada keluarga kerajaan Thothage itu. Ciara Duignan mempertanyakan tanpa segan di hadapan publik, bagaimana Vivienne yakin pesan yang diterimanya dari Dewi Viada dan bukan bisikan iblis.

Vivienne tentu siap menjawab dengan ramah kalau orang yang terpilih bisa membedakannya dengan mudah. Meskipun kenyataannya Vivienne tak tahu bagaimana Saintess asli bekerja. Dan Putri kerajaan tetangga itu tampak tergemap ingin mendebat lebih jauh kalau saja ayahnya tak menariknya kembali untuk berkenalan dengan orang-orang Syca yang lebih penting.

"Saintess, maaf kalau saya sedikit lancang,"

Suara manis di sampingnya, mengalihkan perhatiannya dari mengobservasi orang-orang. Countess Trezel yang sedang hamil muda menjadikan alasan Vivienne untuk tak ikut berbaur dalam rombongan dayang Permaisuri lain, memilih untuk menemani si istri keponakan Permaisuri dibanding bersosialisasi, berkeliling dengan korset ketat yang dipakainya sekarang. Madam Magne -si perancang- ikut ambil peran mendandani Vivienne tadi pagi dan kelewat mengencangkan korsetnya.

Bahkan sekarang ia merasa mual untuk sekedar bergerak. Vivienne menengok ke wanita pirang gelap yang tengah duduk itu yang melanjutkan pertanyaannya.

"Kalau boleh saya tahu, berapa umur Saintess?" cicit pelan si perempuan muda.

"Dua puluh delapan tahun, Countess."

Napas tercekat keras yang menjadi reaksi pertama jawabannya, dan Vivienne serasa ingin memutar bola matanya meskipun sudah paham tanggapan apa yang akan diterimanya. Masyarakat dan segala aturan mereka pada wanita.

Vivienne hanya tersenyum polos tak tahu apa-apa atau bagaimana cara society bekerja.

"Apa Saintess tak ingin menikah dan berkeluarga? Bukankah kata Saintess, anda juga boleh menikah, 'kan? Apa Saintess baik-baik saja?" pertanyaan bertubi-tubi itu datang dengan penuh simpati dan khawatir seraya meraih satu tangannya untuk digenggam lembut.

The Saintess' EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang