05. Lady of Death

137 23 5
                                    

***

***

***

Jean terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak dengan kerongkongan kering, dan malam masih panjang. Lalu pergi ke dapur dengan selimut wol mendekapnya untuk menghalau angin malam. Dia baru saja menuangkan air ke gelas kayu saat bayangan seseorang perlahan muncul tak jauh di depannya dari sudut mata.

Jean mendongak sebelum Pangeran Louis sempat mengetuk pintu kayu dapur. Lelaki itu berjalan masuk ke dapur memakai pakaian seadanya, selayaknya akan tidur. Blus putih longgar dan celana coklat panjang.

Wanita itu cepat-cepat menurunkan pandangan sesuai etika, apalagi melihat keadaan berpakaian tuannya, dan segera membungkuk singkat memberi hormat.

"Yang Mulia."

"Aku hanya ingin mengambil minum, kukira tidak akan ada orang." Pangeran Louis menyatakan keinginannya langsung dan membuat Jean bergegas mengambilkan gelas keramik.

Tuannya dengan nyaman duduk di salah satu bangku panjang yang biasanya untuk para pelayan makan.

"Ben sepertinya kelupaan menaruh airku." Papar Pangeran Louis memberi penjelasan tanpa ditanya sesaat Jean meletakkan segelas air di depannya.

Jean merutuki anak laki-laki itu.

"Saya minta maaf mewakilinya, Yang Mulia. Saya pastikan dia tidak akan lalai lagi."

"Tidak perlu minta maaf, hanya masalah kecil. Aku masih punya kaki," senyum hangat yang keluar saat makan malam tadi menghias lagi setelah meneguk air.

"Apa yang kau lakukan tengah malam begini? Mengambil minum sepertiku juga?" Tanya tuannya ringan.

"Benar, Yang Mulia."

Jean mengambil gelas bekas minumnya seakan ingin menunjukkan dia sedang tidak melakukan hal yang patut dicurigakan. Keheningan sejenak sebelum Pangeran Louis memberikan perhatiannya kepadanya sewaktu Jean akan beranjak undur diri.

"Jika tidak ada yang Yang Mulia perlukan lagi, saya akan-"

"Ngomong-ngomong, aku belum mengucapkan terima kasih padamu."

Alis Jean menaut bingung dengan mulut masih terbuka di saat akan mengakhiri kalimatnya.

Tuannya melanjutkan,

"Tuan Bauer cerita, kalau kau sangat membantunya saat dia merawat ayahku, dan sering menemaninya juga."

Kerutan bingung Jean mengendur,

"Itu sudah tugas saya sebagai pelayan, Yang Mulia."

"Tidak, aku sungguh berterima kasih. Itu pasti sulit."

Untuk pertama kalinya Jean benar-benar melihat sosok Pangeran Louis. Di bawah sinar rembulan penuh yang masuk melewati jendela-jendela besar dapur, pria gagah dengan bahu lebar yang duduk di bangku pelayan itu terlihat rapuh.

Siapa yang menyangka kalau panglima perang yang dirumorkan kejam dan dingin sangat menyayangi ayahnya. Mengingatkan Jean dengan seseorang yang ia pernah temui sekali setahun dulu.

"Mendiang Grand Duke bukanlah orang yang sulit untuk berteman. Beliau sangat mudah untuk dihibur juga." Jean tersenyum mencoba membagikan sedikit memorinya.

"Aku tahu itu, ayahku memang orang yang ceria." Senyum lebar yang semula muncul memudar berganti ekspresi muram.

Rasa bersalah muncul lagi melihat hal itu, meskipun ia masih tak tahu apa hubungannya perkataan Saintess Vivienne dengan insiden ayahnya dulu. Tapi ia mencoba bersimpati.

The Saintess' EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang