***
***
***
Bagaimana cara dia masuk ke kamarnya?
Hal itu juga Vivienne pertanyakan. Sekalipun semua orang sedang berada di istana utama, tapi masih ada para pelayan paviliun yang berkeliaran entah itu bersih-bersih atau bolak-balik menyiapkan makan malam.
Namun Louis Archer sama sekali tak buru-buru menjawab pertanyaan awal Vivienne, melainkan menundukkan pandangannya dengan jemari memainkan sudut atas salah satu halaman kitab di pangkuannya.
Vivienne menghela napas panjang melihat pria dengan rambut hitam tertata klimis itu malah tampak seakan merenung.
Dirinya tak punya waktu untuk semacam ini.
"Aku sudah bilang tadi kalau tak ada yang bisa aku bagikan. Dan kalau kau perlu sesuatu, cepat katakan sekarang. Aku tak begitu punya banyak waktu luang untuk bisa beristirahat dengan tenang." ujarnya sembari melepas sepasang sepatunya, tak peduli akan etika lagi di hadapan pria itu. Suasana hatinya akhir-akhir ini gampang sekali naik-turun. Vivienne mencoba untuk menyinkronkan laju mulut dan otaknya sebelum kalimat tak pantas keluar.
Yang diterimanya lagi-lagi bukanlah jawaban, melainkan helaan napas lirih. Dengan berat hati Vivienne berjalan ke depan lelaki itu yang masih terduduk diam. Tampak sedang berkutik dalam kepalanya, hingga telat menyadari sampai siluet Vivienne masuk dalam periferal pandangannya, baru lelaki itu mendongak.
"Kalau tak ada hal penting, bisakah Grand Duke Rosier yang terhormat undur diri dari kamar pribadi Saintess sekarang?" pinta Vivienne dengan sopan sekaligus bernada sinis, tangannya terlipat di depan dengan satu alis terangkat samar.
Louis kembali menurunkan pandangannya. Dan kalau saja wanita itu tak berada di hadapannya mungkin, ucapan yang keluar tak akan terdengar kepada siapapun. Bahkan diri pria itu juga tak ingin mendengarnya.
"Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan."
"Lalu kenapa kau malah duduk-duduk di sini? Untuk apa?!"
Vivienne menarik napas mencoba lebih tenang setelah ledakan impulsifnya, sementara pria itu balik menatap. Sang Saintess sama sekali tak mengerti dan malas untuk memahami saat ini maksud serta konteks untuk kalimat balasan tadi.
Sejujurnya, apa yang dia inginkan?
Guliran manik biru itu cukup membuat Vivienne bisa menebak, kalau pria di hadapannya sedang terpikirkan sesuatu. Dan benar sekali.
"Kau seorang Saintess, 'kan?"
Vivienne bisa merasakan arah pembicaraan kini yang entah kenapa hanya akan membuatnya kesal nanti. Meskipun tak ada intonasi ganjil yang terdengar dari pertanyaan lelaki itu, ataupun ekspresi mencemooh. Bukankah pria yang sama juga menyebutnya sebuah sandiwara? Padahal sudah tahu bagaimana Vivienne bekerja sebagai Saintess.
"Jadi, beritahu aku apa yang harus kulakukan-?"
"Bagaimana aku tahu jika kau sendiri saja tak tahu?" potong Vivienne tak sabaran.
"-jika ada orang yang menipu bertahun-tahun, tapi-?"
"Kenapa kau segitunya membenciku? Apa salahku waktu itu?" selanya lagi merasa jengkel dan akhirnya mengutarakan pertanyaan yang sudah lama dalam benaknya. Melihat pria itu terdiam sejenak, tanpa memberi waktu lagi Vivienne meneruskan.
"Aku masih sangat ingat, kau cuma bertanya soal kekhawatiran dari firasat burukmu, dan aku yang orang asing hanya mencoba menenangkan. Memangnya apa yang kau harapkan lag-?"

KAMU SEDANG MEMBACA
The Saintess' Escape
Romance𝑹𝒐𝒎𝒂𝒏𝒄𝒆 𝑭𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔𝒚 Seorang Saintess yang dimuliakan di penjuru Kerajaan Syca, memilih kabur dari kuil yang telah membesarkannya, hanya karena merasa muak dengan semua masalah yang dilimpahkan padanya untuk diselesaikan. Sementara itu, tan...