***
***
***
Semburat cahaya masuk melalui lubang udara selebar telapak tangan dan tepat mengenai wajahnya, lagi-lagi yang membangunkan Vivienne dari tidurnya. Ia menutup matanya kembali merasakan sinar hangat itu menerpa wajahnya. Merasa sangat beruntung hari ini tampak cerah, dan mengurangi sedikit hawa dingin dalam ruangan sempit yang telah ia diami selama lima hari, atau enam... atau mungkin sudah seminggu lebih?
Entahlah, ia tak begitu yakin dengan hitungannya pada angka yang seharusnya masih sangat bisa dihitung jari. Tetapi tidak jika dirinya sudah tak ada tenaga sama sekali untuk memikirkan hal biasa seperti itu, bahkan sekedar untuk bangun dan duduk. Pudarnya harapan juga ikut mengurangi keinginannya untuk lanjut hidup. Meskipun dirinya masih mencoba untuk menyimpan energinya sampai mendapat kesempatan untuk kabur dari tempat yang membuatnya semakin gila.
Dan mungkin kesempatan tersebut tak akan pernah datang. Semenjak hari di mana identitas aslinya terbongkar dan dirinya dikurung, sama sekali tak ada hal baru yang terjadi di sekitarnya. Tak ada kunjungan, makanan, minuman, bahkan pergerakan kecil sekalipun yang terlihat dari pandangan Vivienne ke sekitarnya, selain tikus-tikus tentu saja. Seolah ia terlupakan begitu saja di bawah Arcus Hall. Teriakan minta tolongnya di hari-hari pertama juga tak ada yang merespon.
Ini benar-benar terburuk. Atau memang begini yang mereka inginkan pada tahanan mereka, mati membusuk terlupakan di bawah tanah. Atau menunggu si tahanan sampai gila dan memakan daging mereka sendiri karena kelaparan?
Memakan daging tikus mentah sepertinya lebih baik dibanding menjadi santapan mereka lebih dulu. Tak hanya satu atau dua kali, hewan pengerat itu keluar masuk membawa kawanannya untuk mencicipi jari kaki Vivienne yang ia coba dengan keras usir dengan sisa tenaganya.
Bahkan ia yakin penjara kerajaan lebih memanusiakan tahanannya dengan masih memberi mereka makanan, biarpun basi atau berjamur. Perlakuan ini membuat Vivienne mau tak mau juga balik membenci pria itu. Ini sangat keterlaluan.
Tubuhnya serasa ingin mengering meskipun di sekitar sangat lembab ditambah air hujan yang sebelumnya masuk menggenangi tanah di mana ia berada. Mungkin memang seharusnya ia minum air lumpur itu kemarin, mencegah dirinya dehidrasi lebih parah, dan sekarang genangan air lumpurnya sudah meresap ke tanah. Kalau saja posisi lubang udara itu lebih pendek mungkin Vivienne bisa menadahkan tangannya keluar untuk mengumpulkan air hujan yang lebih bersih.
Dan suara cacing di perutnya tak lagi keluar meminta jatah, seolah ikut terkuras tenaga mereka untuk hanya bersuara. Yang bisa Vivienne lakukan hanyalah mengeratkan pinggangnya untuk mengurangi rasa lapar.
Apa memang ini akhir hidupnya? Apa ini karma untuknya setelah menipu banyak orang?
Tapi bukankah ini terlalu kejam? Dan lagi, bukankah Vivienne tetap banyak menolong mereka yang kesusahan terlepas dari caranya?
Batin wanita itu sangat tak terima.
Kau sangat tahu, Vivienne. Kau bukanlah seorang saint.
Pikiran kecil di sudutnya berkata mengingatkan penuh sinis. Dan ia ingin menyangkalnya.
Ada saat di mana dirinya mengabaikan dan berucap omong-kosong kepada orang-orang yang meminta petunjuk padanya. Bahkan tanpa berpikir panjang, ia membuka mulut begitu saja meskipun yang keluar kadang tak masuk akal dan nasehat kata-kata standar. Frekuensi abainya semakin sering saat Vivienne pikir ia tak akan kena masalah dari hal itu, sambil menikmati hidupnya yang bergelimang harta. Sampai akhirnya banyak orang yang tak percaya lagi pada kekuatan Saintess dan membuat reputasi Kuil semakin menurun. Dan dirinya kabur dari tanggung jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Saintess' Escape
Romance𝑹𝒐𝒎𝒂𝒏𝒄𝒆 𝑭𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔𝒚 Seorang Saintess yang dimuliakan di penjuru Kerajaan Syca, memilih kabur dari kuil yang telah membesarkannya, hanya karena merasa muak dengan semua masalah yang dilimpahkan padanya untuk diselesaikan. Sementara itu, tan...