39. What Should It Be

128 14 5
                                    

***


***


***

Rasa pening yang pertama kali menyambut kala kesadaran menyentuh Vivienne. Kemudian tubuh asing nan familiar yang mendekapnya longgar di kasur empuk, membuat wanita itu mengira ia masih berada di Arcus Hall, di kamar utama-nya, dan semua yang terjadi hanyalah mimpi. Pencariannya, penjaranya, pesta Permaisuri, kedatangan rombongan Thothage. Tapi begitu ingatannya mulai lebih terbuka lagi, rentetan memori menyadarkan Vivienne kembali atas apa yang telah terjadi tadi siang menjelang sore.

Dan entah sejak kapan tubuh mereka berdua telah berpindah dari sofa ke tempat tidur. Perasaan lega menyelimuti begitu kulitnya masih bisa merasakan kain bajunya, stocking dan tali pitanya terikat di kaki, bahkan korset kencang itu juga yang mungkin penyebab seluruh tubuhnya merasa nyeri, tidur dengan kungkungan ketat tersebut, tak seleluasa pakaian rakyat biasa. Tapi rambutnya sudah terbebas dari tatanan karya asisten Madam Magne, tergerai menyebar di atas bantal.

Sementara setelan pria yang mendekapnya sudah terlucuti meninggalkan kemeja putih dan sepertinya juga masih memakai celana yang hanya bisa Vivienne tebak di balik selimut yang melingkupi setengah badan mereka berdua. Posisi Vivienne yang miring menghadap langsung sosok yang tertidur pulas itu, membuatnya -sekali lagi- bisa melihat lebih dekat garis rahang tegas itu, menurun ke leher berjakun, dan sekilas dada maskulin yang terlihat dari bagian kemeja atas yang dua kancingnya tak terkait dengan benar, di mana dua tangan wanita berada. Tak menginginkan memori lama yang spesifik semakin bertambah jelas dan membuat pipinya hangat tak nyaman, pandangan Vivienne kembali ke atas, ke kontur wajah dengan mata terlelap, seraya menarik tangannya untuk tak menempel.

Sungguh menakjubkan, wanita itu pikir. Raut wajah yang tenang itu, hidung mancung itu, bibir yang pernah ia cium itu...

Jangan terlena, Vivienne. Kau harus punya batasan yang jelas. Cepat sadari apa yang kau rasakan sesungguhnya.

Dia tak seharusnya berada di sini. Suara dalam kepalanya berteriak, dan dalam sekejap pikiran rasional Vivienne mengambil alih. Ia bergegas menjauhkan diri dan lepas dari dekapan tubuh maskulin di sampingnya. Lalu bangun dan mengedarkan pupilnya ke sekitar yang sudah gelap. Jam saku yang berada di nakas samping ranjang menunjukkan pukul sebelas malam. Kemudian dengan langkah pelan ia menuju jendela kamar yang tertutup tirai, melihat keluar untuk memastikan ada yang janggal atau tidak, lalu berganti ke depan pintu yang terkunci, tapi tak berani membukanya. Vivienne paranoid.

Memori beberapa jam yang lalu saat pertikaian mereka berdua kembali ke permukaan, dan ia berharap tak ada orang yang mendengarnya dari luar. Terlebih lagi sang Saintess tak keluar dari kamarnya berjam-jam selepas dari pesta penyambutan Thothage. Semoga mereka yang mencarinya tak berpikiran aneh-aneh.

Iya, semoga begitu.

Vivienne memasrahkan diri sebelum berniat mengganti pakaiannya ke yang lebih nyaman. Bola matanya bergulir sekilas ke sosok yang tertidur di ranjangnya, memastikan lagi dan merasa bimbang, antara membangunkan dan mengusirnya sampai pergi atau berganti sekarang mumpung masih terlelap. Dan Vivienne memilih pilihan kedua.

Wanita itu membawa gaun tidur bersih-nya ke kamar mandi yang terhubung dengan kamar privatnya. Lalu menarik lepas kancing belakang gaun putih mewahnya. Dan tanpa menanggalkan rok terlebih dulu, ia langsung meraih simpul korset yang mengekang, karena ingin segera bisa bernapas lega.

Namun, semenit kemudian Vivienne ingin mengumpati tangan terampil Madam Magne, dan tangannya yang tak bisa diputar berlama-lama ke belakang.

Wanita bersurai hitam itu berjingkat kaget di posisinya saat sebuah sentuhan asing tiba-tiba muncul bak dari udara kosong. Ia hampir saja berteriak, itupun kalau bisa. Dan perlu dua kali tengokan takut cepat untuk memastikan sosok tinggi di belakangnya memang manusia di tengah remang-remang cahaya lilin.

The Saintess' EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang