Gak tau kenapa agak males update yang ini karena feel nya gak dapet di saya sendiri. Mana sempet di sama-samain sama cerita yang saya sendiri gak baca.Buat yang pada nunggu aja ini. Itu juga kalo ada🙂
Btw..vote kaleee
Seperti dugaan Gika, keluarga Aric marah. Gika hanya bisa diam dengan keterkejutannya melihat Aric di tampar keras oleh ayahnya sendiri.
Jujur saja dia tidak tega, karena sudah dia bilang, semua tidak akan terjadi kalau bukan dirinya yang mulai. Maka meski tangannya gemetaran karena takut, Gika beranjak dari duduknya, mendekat pada Aric yang sedang berlutut di depan ayahnya.
"Om, Aric enggak sepenuhnya bersalah, ini juga salah aku, om juga seharusnya marah sama aku. Bukan cuma sama Aric, karena ini gak akan terjadi kalau bukan karena aku duluan." Aric mendongakkan kepalanya, bibirnya robek akibat di pukul ayahnya.
"Yang salah kita berdua, bukan cuma kamu." Ucap Aric, masih mendongak menatap Gika.
"Gauri, anak kita tuh masih saling mencintai." Gauri menolehkan kepalanya, menatap Salma yang berbisik padanya.
"Aku tau Aric salah, aku tau betul Aric yang bodoh karena menuduh dan menceraikan anak kamu. Tapi kalau udah kaya gini, dan mereka berdua udah mengaku, kita bisa apa?" Salma menyambung, tangannya mendarat di punggung Gauri dan mengusapnya pelan.
"Mungkin giliran kita yang harus belajar memaafkan dan menerima keadaan." Gauri menghela nafas mendengarnya, kemarin pagi Gika sudah di marahi habis-habisan oleh ayahnya, Gauri tidak membela, juga tidak menghalangi Gika di marahi sampai menangis. Tapi Salma benar, mereka berdua sudah mengaku kalau mereka masih saling mencintai. Apapun yang mereka dapat dari itu adalah urusan mereka berdua, Gauri meski ingin ikut campur pun akan tidak bisa.
"Pa. Udahlah, nikahin aja mereka berdua, mama capek." Aric langsung berdiri dari posisinya berlututnya, mendekat pada orang tua Gika yang baru saja mengucapkan kalimat tadi.
"Saya salah pa. Saya tau dan saya akui itu, tapi saya begini karena saya sangat mencintai anak papa. Tolong kasih saya sekali lagi kesempatan." Ucap Aric, ia sungguh-sungguh, nada tegasnya barusan membuat suasana menjadi hening.
"Gangika Ameera, kamu cinta sama orang ini." Gika, dengan matanya yang sembab menatap ayahnya yang menunjuk Aric-, yang berdiri tidak jauh di depannya.
Gika mengangguk, takut jawabannya dianggap salah. Ia pertemukan tatapannya dengan Aric. Pria itu tau, dari dulu hingga detik ini, rasa cintanya masih terpelihara. Bahkan meski Aric mengusir dan menolaknya.
"Aku...aku minta maaf pa, tapi aku sama Aric__
"Gika, jujur mama kecewa sama kelakuan kamu ini. Mama ngerasa gagal ngedidik kamu. Padahal mama kasih semuanya ke kamu termasuk kepercayaan mama." Gauri hampir menangis, berbanding terbalik dengan Gika yang sudah menunduk dengan air matanya.
Aric mengulurkan tangannya, menggengam tangan Gika dengan erat di hadapan semua orang, berharap perempuan itu menyadari bahwa semuanya tidak seburuk apa yang ada di pikirannya.
"Tapi mama juga gak mungkin menghalangi kebahagiaan kamu. Apalagi kamu sendiri yang udah ngaku di depan mama kalau kamu cinta sama Aric dari dulu." Gauri menyambung. Gika tidak bohong, hatinya pelan-pelan melega mendengar itu.
"Kamu Aric" ayah Gika semakin mendekatkan dirinya pada Aric, menarik kerah kemeja yang pria itu pakai.
"Sekali lagi kamu sakiti anak saya, saya sendiri yang akan balas ke kamu, dengan tangan saya sendiri. Ngerti!" Aric mengangguki ucapan tegasnya.
"Saya janji"
Setelah membicarakan banyak hal, setelah Aric dan Gika meminta maaf pada dua keluarga, setelah semua pembicaraan alot yang membuat degup jantung keduanya seperti di pompa terlalu kencang-, orang tua Aric memutuskan pulang, setelah juga meminta maaf pada keluarga Gika atas apa yang terjadi di masa kini dan di masa lalu.
Aric masih disana, mengantar orang tuanya hingga teras rumah Gika, lalu berbalik menemukan Gika yang matanya masih bengkak.
"Udah gak papa, kamu istirahat ya?" Aric merangkum wajah Gika, ucapan lembutnya adalah bentuk ketidaktegaan melihat Gika nampaknya kurang istirahat.
"Terus kita gimana?" Gika memang masih mengakui bahwa pikirannya kadang kala lebih pendek dari anak-anak. Jelas-jelas tadi di dalam Aric bilang akan cepat-cepat mengurus pernikahan mereka.
Bahkan di tengah malam ketika ia kembali mengingat masa lalu, ketika lagi-lagi ia menyadari Aric adalah satu-satunya pria yang ia cintai, Gika tidak pernah berani berkhayal mereka akan kembali. Ini agak sulit untuk ia percaya meski sejujurnya, sesuatu yang entah apa dalam dirinya membuat Gika merasa 'lepas'. Rasa senang saja agaknya tidak cukup untuk menggambarkan rasa syukurnya. Karena rupanya, sekarang dia sudah tidak lagi mencintai sendirian. Aric menginginkannya sama banyak dengan dirinya.
"Saya yang akan urus secepatnya, kamu jangan khawatir lagi ya? Istirahat." Aric menempelkan keningnya pada kening Gika.
"Emang kamu cinta sama aku?" Kan? Gika sudah bilang pikirannya kekanakan. Dia bukan lagi remaja, tapi sangat butuh pengakuan.
"Bahkan lebih dari apa yang pernah kamu kira." Gika tersenyum, memeluk Aric dan tentu saja di sambut dengan bahagia.
"Nyesel gak sih kamu pernah ngusir aku?" Aric mengangguk. Ia kecup puncak kepala Gika lama sembari memejamkan mata.
"Bahkan saya nyesel, kenapa waktu pertama kali kamu ungkapin perasaan kamu, saya malah nolak. Andai waktu itu saya terima, kita gak perlu menjalani semuanya penuh lika-liku begini. Mesti pisah dulu dari kamu." Mereka masih saling berpelukan, melampiaskan rasa rindunya masing-masing.
"Tapi waktu itu kamu cintanya sama Agni." Aric melonggarkan pelukannya, menatap Gika yang sudah bisa senyum sekarang.
"Iya, tapi sekarang saya cuma mau kamu. Kalau enggak kamu, enggak juga sama yang lain."
_______
"Capek-capek segala jalan ama orang yang salah, melewati berbagai usaha buat move on, ujung-ujungnya lo balikan ama mantan." Bara tertawa, Gika sedang menatap sinis padanya.
"Kok ketawa sih, bersyukur dong. Akhirnya Gika ketemu sama jodohnya." Keisha yang duduk di sebelah Bara memukul keras paha suaminya itu.
"Ternyata bener ya, mau sejauh apapun, dan dengan cara apapun, kalau itu jodoh kita, ya pasti bakal ketemu. Kamu sama Aric mungkin cuma satu dari beberapa orang beruntung." Gika mengangguki ucapan Keisha juga membenarkannya dalam hati.
Kenapa Bara tau dia pernah hampir mencoba menjalin hubungan dengan orang lain? Karena pada akhirnya Gika berani bercerita, tentu saja tanpa menutupi apapun termasuk kebrengsekan si laki-laki yang Gika malas sebutkan namanya itu.
Ini adalah dua bulan sebelum dia dan Aric menikah, tentunya tidak semudah itu. Keluarga Aric dan juga keluarganya sendiri tetap ingin merancang pernikahan ini bahkan lebih meriah dari pernikahan mereka yang pertama. Gika dan Aric sudah sepakat untuk mengadakan acara dengan sederhana, bahkan sempat berfikir untuk tidak mengundang banyak orang. Tapi ide itu di tolak keras, Gauri malah bilang kalau semua orang harus tau supaya tidak usah kaget kalau sewaktu-waktu melihat Gika dan Aric lagi.
Benar juga sih.
Bara menatap undangan itu dengan senyum, Aric memang layak mendapatkan kesempatan karena usahanya itu. Lagipula Bara juga serius lelah melihat mereka berdua-, terutama Gika, saling menyangkal.
"Gue selalu berdoa buat kebahagiaan lo Gika, kalau sekali lagi Aric nyakitin lo, siap-siap aja berhadapan sama gue. Dan kali ini gue gak bakal peduli sama larangan lo." Diantara banyaknya kebahagiaan, Bara adalah salah satunya.
Dan Gika sekarang hanya sedang mempersiapkan diri, menjalani hari-hari dilembar kehidupan yang baru bersama Aric. Yang Gika yakini ia tidak akan lagi merasa tidak diinginkan kali ini.
Satu part lagi menuju ending, saya sendiri baru sadar kalo ini babnya kebanyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower