Ch. 3

327 27 0
                                    

Mengulurkan tangannya di atas meja, Rion tersenyum tipis, "Arion."

Membalas uluran tangan Arion, Rumi balas tersenyum tipis, "Rumi." Orang tuanya memang menggunakan kata 'Vina', tapi jujur saja ia lebih nyaman dipanggil dengan nama 'Rumi'. Panggilan itu selalu mengingatkan Rumi pada bundanya.

"Kalau gitu gimana kalau kita lanjut ngobrolnya sambil makan Appetizer dulu, sekalian biar kedua calon pengantin kita ada gambaran soal diri masing-masing." Menunjuk Quiche yang sudah terhidang di atas meja dengan telapak tangannya, Alden menatap semua orang meminta persetujuan.

"Ah, benar. Boleh, masih banyak hal yang harus kita bahas juga, bukan begitu?" Devin mengangguk setuju, menatap semua anggota keluarganya dengan senyum tipis dan anggukan ringan sebagai tanda mempersilakan.

"Ayo, Sayang." Edlyn memegang masing-masing tangan anaknya. Menatap menu di atas meja yang tepat berada di depan masing-masing mereka.

Jika ini hanya makan malam keluarga mereka saja, sudah pasti Rion akan langsung berebut dengan Exu siapa yang selesai makan terakhir akan mencuci piring di rumah nantinya.

"Ini kita manggilnya Rion atau Arion?" Devin menatap Arion yang tengah makan dengan tenang, penuh keanggunan, dan begitu tampan.

"Rion aja biar lebih gampang gapapa kok, Om." Jika Rion tidak salah ingat, sepertinya senyumnya masih mengembang sedari tadi. Sudah mulai pegal tulang pipi Arion sejujurnya.

"Sekarang lagi sibuk apa, Rion?" Membersihkan sekitaran mulutnya, Devin kembali menatap Arion dengan mata tajamnya.

"Lagi ngurus travel, Om."

"Usaha sendiri itu?"

"Iya, Om. Barengan sama temen juga sebenernya."

Anggukan Devin berikan, merasa cukup puas dengan balasan Arion yang menurutnya sudah cukup matang secara mental dan finansial.

"Rumi memang pemalu ya anaknya? Kok diem aja? Atau masih gugup?" Mata Alden sedari tadi tidak beralih dari calon menantunya ini. Wajah putih dengan surai hitam itu sedari tadi terus menunduk menatap piring di depannya. Entah masih lapar entah bagaimana.

"Iya, dia emang agak pemalu. Maaf ya." Indri menjawab tak enak hati, merasa sedikit bersalah karena anak tengahnya ini yang tidak responsif.

"Gapapa, cocok sama Rion berarti." Edlyn tertawa pelan. Anaknya memang terkadang bertingkah seperti tidak punya malu, jadi adanya Rumi akan sedikit menyamarkan tingkah tak masuk akal anak sulungnya itu.

Sedari awal mereka mulai duduk bersama, Arion juga sudah memperhatikan gadis bergaun putih ini. Kepalanya memang tidak menunduk, tapi pandangannya selalu mengarah ke bawah.

Berbanding terbalik dengan gadis bergaun merah muda di sebelahnya, dia terlihat penuh percaya diri, dan menatap Arion dengan penuh minat.

"Ah, bagaimana kalau kita membahas tanggal pernikahan mereka?" Devin nampak antusias, berbanding terbalik dengan Rumi yang langsung menunduk menatap pada kedua kakinya.

"Tidak masalah, apa dalam enam bulan ini tak apa?" Edlyn rasanya ingin cepat-cepat memboyong Rumi untuk tinggal di rumah mereka dan merawatnya seperti anak sendiri.

"Tak apa, semakin cepat semakin baik." Indri mengangguk setuju, itu adalah pilihan terbaik bagi semua pihak.

"Apa Rion memiliki jadwal tertentu dalam rentang waktu ini?" Devin menanyai Arion, jika menanyai Rumi itu hanya akan sia-sia saja. Anak gadisnya itu hanya mendekam dan mengurung diri di dalam kamar.

"Untuk sekarang tidak ada, jika ke depannya terjadi hal-hal tidak terduga mungkin masih bisa kita bicarakan lagi." Sebagai pebisnis profesional, itu adalah jawaban yang akan Arion berikan pada setiap cliennya. Dan keluarga di depannya ini adalah clien bagi Arion.

The Way Love GrowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang