Ch. 39

164 27 7
                                    

Meremat kedua tangannya, Rumi menarik nafas dengan perlahan. Entah kenapa dadanya terasa sesak begitu saja. Rumi yakin jika ia tidak salah makan apapun.

"Kok rasanya sakit gini ya?" Bisik Rumi. Berbaring di atas sofa di depan televisi, Rumi menatap layar ponselnya yang sudah berkedip-kedip.

Biasanya yang akan nelfon Rumi ya jika tidak Arion, pasti keluarga dari suaminya itu. Tapi yang tertera pada layar ponselnya sekarang adalah nomor asing. Rumi tidak ingat jika ia pernah memberikan kontaknya pada orang lain.

"Halo?"

"Jangan lupa dateng ke alamat yang udah papa kirim."

Tanpa menunggu balasan dari Rumi, sambungan telfon terputus begitu saja. Menyisakan Rumi dengan wajah pucat pasi dan detak jantung yang semakin berdebar tidak karuan.

"Jadi karna ini detak jantungnya ngga tenang dari tadi." Gumam Rumi. Menghela nafas lelah, Rumi ingin menangis saja rasanya.

"Kabarin mas ngga ya?

**

"Puncak apa pantai aja?"

"Pantai mana yang bagus di sini?"

"Noh di Banten bejejer pantai yang masih bagus."

"Kalau nginep bagusan puncak ngga sih?"

"Iya sih, Harris ngga masalah mau pantai apa puncak juga."

Arion hanya mendengarkan dua manusia kesayangannya ini tengah berdebat membahas destinasi tujuan mereka bulan depan.

"Jad-" belum selesai Arion dengan perkataannya, dering telfon sudah membuat fokus Arion teralihkan.

"Mika mana bagusnya aja, Mika angkat telfon dulu." Membelakangi Gin dan Harris, dengan senyum lebar ia mengangkat panggilan dari Rumi.

"Halo, kenapa sayang?" Arion sudah tersenyum lebar. Ingin pulang saja Arion rasanya, sungguh. Yang ingin Arion lakukan hanya mendekap Rumi dari pagi hingga pagi lagi.

Tapi Arion sadar, mereka butuh uang untuk tetap bisa hidup. Damn.

"Mas, lagi sibuk ngga?" Suara Rumi terdengar sedikit bergetar.

"Engga kok, ada apa?" Memperbaiki duduknya, entah kenapa Arion merasa ada sesuatu yang salah di sini.

"Barusan papa nelfon adek. Papa nyuruh adek buat pergi ke alamat yang udah papa kirim. Tapi adek takut." Adu Rumi. Ia hanya belum bisa untuk kembali menghadapi keluarganya yang entah masih bisa Rumi sebut keluarga atau tidak.

"Mana alamatnya? Kirimin mas ya. Ada acara apa emang sampai papa nyuruh adek pergi?" Arion tidak menerima pesan apapun, seharusnya mereka juga memberi tahu Arion bukan? Atau mereka lupa jika Rumi sekarang hitungannya satu paket dengan Arion?

"Adek ngga tau, papa ngga ngomong apa-apa lagi. Papa cuma nyuruh dateng trus telfonnya langsung papa tutup lagi." Rumi ingin menangis saja, hidupnya sudah mulai tenang dan kenapa mereka harus kembali mengacau ketenangan yang sudah susah-payah Rumi dapatkan.

"Kapan emang?" Setelah mendengar bagaimana Rumi diperlakukan oleh keluarganya, membuat Arion sedikit-banyak merasa kasihan.

"Nanti malam, jam tujuh." Meggigit kuku jarinya, Rumi benar-benar sudah seresah itu. Ini baru jam satu dan hingga Arion pulang nanti, Rumi akan tetap merasa gelisah.

"Ya udah, nanti pergi sama mas. Mereka ngga bakal berani ngapa-ngapain adek." Menenangkan si kecil, untuk saat ini hanya itu yang bisa Arion lakukan. Jika harus pulang lebih awal, Arion takut jika papinya menarik segala hak waris miliknya.

The Way Love GrowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang