Ch. 52

173 33 16
                                    

"Mih? Kenapa? Kok bisa?" Arion dan yang lainnya yang baru sampai langsung mengerubungi Edlyn yang tengah memeluk Abel. Mereka semua penasaran, selain itu mereka juga merasa bersalah kepada Rumi karena terkesan mendukung kelakuan bejat Arion.

Menghiraukan kedatangan anaknya, Edlyn mengusap bahu Abel yang masih menunduk penuh rasa bersalah. "Udah gapapa, sekarang kamu cuci tangan dulu, cuci muka. Kasihan nanti Rumi ketemu kamu keadaan kamu kek gembel gini." Gurau Edlyn.

Tak banyak bicara, Abel berlalu mengikuti arahan Edlyn. Tak berniat menyapa adik iparnya yang masih membutuhkan penjelasan.

Abel kacau, benar-benar kacau.

**

"Mi, kenapa bisa gini? Abel yang ngelakuin?" Tuding Arion. Tidak ada lagi prasangka baik yang tersisa di dalam hatinya asal kalian tahu. Semuanya benar-benar berantakan.

"Bukan, Indri ngedorong Rumi dari tangga. Dan lagi, Abel ngga sejahat itu walau emang dia jahat." Menghela nafas lelah, Edlyn masih bisa merasakan jantungnya yang berdetak tidak karuan karena mendapatkan panggilan dari Abel tadi.

"Ngga jahat gimana? Mereka selalu seenaknya sama Rumi." Protes Arion. Dari semua cerita Rumi dan juga beberapa yang Arion lihat langsung, bagaimana bisa Edlyn tidak mengakui kejahatan keluarga itu?

"Dalam perspektif Rumi tentu gitu, tapi Abel punya alasan. Dia terpaksa, kalau bukan dia, Indri bakal ngelakuin semuanya sendiri dan hasilnya bakal lebih parah. Emang menurut kamu yang selalu ngasih tau info soal Rumi kalau bukan Abel siapa?" Tanya Edlyn.

Mengibaskan tangannya, Edlyn kembali menarik nafas. Entah sudah berapa banyak kebahagiaannya yang lenyap karena menghela nafas sedari tadi. "Abel emang sengaja bikin Rumi ngebenci dia karna itu satu-satunya cara paling mudah biar Rumi bisa keluar dari rumah itu tanpa beban."

"Setelah semua yang dia lakuin ke Rumi, Abel juga yang ngerawat Rumi tanpa sepengetahuan Rumi." Menjelaskan sesingkat yang ia bisa, Edlyn lebih tahu semuanya asal kalian tahu.

"Jangan ngehakimi Abel gitu, kamu juga sama aja kalau kamu lupa." Sinis Edlyn. Ia masih tidak bisa tenang selama Rumi masih di dalam sana.

Entah bagaimana Edlyn harus menjelaskan pada Clara di dalam kuburan nanti. Gagal sekali rasanya Edlyn menjaga berlian-berlian sahabatnya itu.

"Jadi... selama ini mami tau kalau Rumi hidup kek di Neraka? Makanya minta aku nikahin dia?" Pertanyaan yang selama ini Arion pendam akhirnya berhasil ia tanyakan.

Mengangguk, tidak ada gunanya juga Edlyn mengelak sekarang. "Ya, kamu bener. Buat ngeluarin Rumi dari sana. Entah gimana setelah ini, yang jelas mami mau bilang makasi karna kamu udah bertahan selama setahun ini." Menatap pintu kaca ruangan operasi di dalam sana, Edlyn harus memikirkan bagaimana caranya ia mempertahan Rumi untuk tetap menjadi keluarganya.

Abel juga sudah mengatakan semuanya pada Rumi, cepat atau lambat indri juga pasti akan melakukan hal yang sama pada Abel. Edlyn harus bisa menarik dua orang itu keluar.

"Mi, Rumi masih mau maafin Mika ngga ya?" Menggigit bibir bawahnya, Arion merasa resah. Jika Rumi sudah begitu membencinya, apa yang harus Arion lakukan lagi?

"Kenapa? Kalau kamu mau balik cuma untuk ngulangin hal yang sama. Ngga usah." Tolak Edlyn. Arion benar-benar sudah membuat keluarganya malu.

Pertama kalinya dalam silsilah keluarga besar mereka ada yang melakukan hal menjijikan itu dan dengan perempuan yang lebih menjijikan lagi.

"Engga, Mika bener-bener serius. Mi-"

Semua mata tertuju pada ruang operasi yang baru saja terbuka. Bergegas berdiri dari duduknya dan menghampiri dokter yang sudah menunggu mereka.

"Dok, gimana? Anak saya baik-baik aja kan?" Tanya Edlyn. Ia benar-benar sudah tidak sabar.

"Anak ibu baik-baik saja, akan segera kami pindahkan ke ruang inap dan keluarga bisa menunggu di sana. Kami permisi."

Mengusap dadanya lega, Edlyn langsung berterima kasih pada Tuhan. Jantung Edlyn sudah lari ke perut rasanya sedari tadi. "Untung banget, astaga. Ya Tuhan."

Anak-anak anomali Arion yang juga diam-diam mendengarkan semuanya ikut menghela nafas lega. Mengusap dada mereka, mungkin mereka akan kembali nanti malam ke sini.

Seperti akan canggung jika mereka ikut dalam permasalahn keluarga ini.

**

Duduk diam di sisi ranjang Rumi, Arion memperhatikan wajah yang selama tiga bulan ini sudah tidak pernah ia lihat lagi. Pesan Arion bahkan hanya dibaca oleh Rumi.


Memijat pelipisnya, Arion benar-benar merasa bersalah sekarang. Ia benar-benar merasa seperti bajingan, hanga karena satu wanita dari masa lalunya yang bahkan bukan siapa-siapa Arion, ia bisa melakukan hal menjijikan itu pada Rumi yang berstatus sebagai istrinya.

"Mas bener-bener minta maaf." Bisik Arion. Menggenggam tangan Rumi dan sesekali akan mencium punggung tangan pucat itu.

Selama tiga bulan ini, walau ia selalu bersama Fara rasanya ada bagian kosong yang selalu mengintai Arion. Dan ternyata, itu memang bagian yang biasa Rumi isi selama satu tahun belakangan ini.

Entah sudah berapa lama mereka duduk di sini, yang jelas Arion selalu menatap wajah cantik itu yang entah sejak kapan sudah mencuri hatinya.

Arion terlambat menyadari ini, Sialan.

Sibuk berperang dengan dirinya sendiri, suara lenguhan pelan memasuki gendang telinga Arion. Kembali fokus pada istrinya, Arion segera menekan bel pada kepala ranjang Rumi.

"Dek, udah bangun? Haus? Mau minum?" Tanya Arion. Mengusap pipi berisi itu dengan ibu jarinya dan juga ciuman singkat yang Arion layangkan pada dahi wanitanya.

Memperhatikan pemilik surai ungu di depannya, Rumi menatap bergantian antara wajah Arion dan juga perutnya. Kenapa rasanya Rumi kehilangan sesuatu ya?

Membawa tangannya untuk mengusap perutnya, mata Rumi mulai berkaca-kaca. Perasaannya tidak enak, ada yang salah di sini. Kemana tonjolan pada perutnya yang selama beberapa minggu ini selalu Rumi lihat dari pantulan cermin?

"Mana?" Mata Rumi menatap pada dokter yang baru saja memasuki ruang inapnya.

"Loh, Rumi udah sadar, Nak?" Segera berjalan ke sisi ranjang Rumi yang satunya, Edlyn tersenyum senang, mengusap tangan Rumi yang matanya masih berkaca-kaca. Edlyn lega, sungguh.

"Mana?" Lagi, Rumi bertanya pada dua dokter di depannya, meminta jawaban akan kenapa perutnya terasa datar. Apa yang sudah mereka perbuat?

"Apanya, Sayang?" Edlyn tidak paham. Menatap Arion yang juga menggeleng tidak mengerti dengan pertanyaan Rumi.

"Bayi aku mana? Kenapa perut aku datar?" Tangis Rumi sudah mulai terdengar memenuhi ruangan, menunggu jawaban dari dokter yang tengah berjalan mendekat pada ranjangnya.

"Dek, bayi apa?" Tanya Arion. Mencoba menenangkan Rumi yang sudah akan mengamuk. Menyeka air mata yang dengan lancang sudah melewati pipi berisi favoritnya.

"Bayi aku mana? Kenapa ngga ada? Kalian apain?!" Teriak Rumi. Menatap nyalang pada dua dokter yang masih menutup mulut akan pertanyaan Rumi. Siapa yang harus Rumi salahkan sekarang?

"Maafkan kami, kami tidak bisa menyelamatkan bayi Anda. Jadi dengan terpaksa kami melakukan operasi kuret untuk mengeluarkan bayi Anda."

Terdiam, Rumi menatap pada perutnya dengan tangan yang masih mengusap bagian tersebut. Masih tidak percaya bahwa bayinya hilang begitu saja. "Aku... keguguran?" Gumam Rumi.

___

Wahahaha

The Way Love GrowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang