"Mas, adek ngga bisa nafas." Rumi mendongak untuk menatap Arion yang benar-benar memeluknya sekuat tenaga.
Menunduk, Arion mengerjap untuk beberapa saat sebelum akhirnya melonggarkan sedikit dekapannya. "Udah, segini aja. Ngga boleh protes lagi." Bisik Arion.
Asal kalian tahu, setengah mati Arion merindukan guling hidupnya ini ya.
"Jadi gimana meetingnya? Aman?" Tanya Rumi. Menepuk pelan punggung Arion dengan kepala yang harus terdongak menatap wajah tampan prianya.
Mengangguk, Arion mengusap helai rambut Rumi. "Aman, untungnya lancar. Ngga ada masalah. Adek gimana di rumah. Aman?"
"Bosen dikit, tapi adek kemarin pergi ke Cafenya Kak Souta. Hehe, maaf ya adek ngga ngabarin. Adek ngga enak minta tolong Exu, adek masih ngerasa bersalah gegara Exu nyemplung ke got." Jelas Rumi, lebih baik ia katakan sekarang, jika menunggu Arion bertanya. Sudah pasti Rumi akan diamuk oleh pria dewasa itu.
"Kenapa? Exu marah karna dia nyemplung?" Tanya Arion.
Menggeleng, Rumi semakin merapatkan tubuhnya pada Arion. "Engga, adek aja yang ngerasa ngga enak. Exu kena mental banget keknya kemarin itu." Rumi akui Exu lucu, tapi Rumi juga merasa bersalah untuk kejadian itu. Ia benar-benar tidak bermaksud.
"Lain kali jangan gitu, kabarin mas. Nanti adek kenapa-kenapa di jalan ngga ada yang tau. Paham?" Mencubit hidung Rumi, Arion mengacak asal helai legam itu. Entah, Arion hanya tidak bisa mempercayai kemampuan bertahan hidup Rumi.
"Paham." Mengangguk santai, Rumi tersenyum lagi. Aroma Arion sudah kembali memenuhi indra penciumannya.
Smirk tipis Arion terkembang begitu saja, mengukung Rumi di bawah tubuh besarnya. Satu tangan Arion sudah berada di sisi kepala Rumi dan satu tangan lainnya sudah bermain-main di kancing baju tidur Rumi.
"Can i?" Menatap mata Rumi, tangan Arion masih bermain di kancing teratas baju wanitanya.
"Mas." Wajah Rumi sudah memelas, ia masih dapat merasakan bagaimana perihnya waktu itu. Rumi akui ia senang Arion pulang, tapi Rumi juga tidak mempersiapkan diri untuk hal ini.
"Boleh? Atau ngga? Semisal ngga boleh tetap mas gas sih." Ujar Arion. Tertawa pelan dengan matanya yang sudah menyipit membentuk bulan sabit.
"Ya atuh kenapa nanya?" Protes Rumi, jika seperti itu ya untuk apa coba?
"Itu namanya pertanyaan basa-basi, Kecil." Mencubit gemas pipi Rumi, Arion tidak tahan. Semua yang ada pada diri Rumi terasa begitu menggemaskan bagi Arion.
"Tapi yang kemarin sakit." Cicit Rumi.
"Dua kali aja, janji."
"Ya-ah!"
**
"Mas." Mengetuk ruang kerja Arion, Rumi menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Memastikan terlebih dahulu keadaan di dalam ruangan tersebut hingga ia mendapatkan sinyal dari sang pemilik tempat.
"Dalem, Sayang?" Sahut Arion, menggerakan jemarinya meminta Rumi untuk mendekat dan mengatakan apa yang ia inginkan.
"Aku boleh pergi?" Tanya Rumi. Berdiri di samping meja Arion dengan tangan yang bertaut di belakang tubuhnya.
"Aku?" Ulang Arion.
"Adek boleh pergi?" Kembali mengulang pertanyaan, Rumi tersenyum canggung atas ketidaksengajaannya. Gugup, jadi tolong diwajarkan saja ya.
Meletakan pulpennya, Arion memutar kursinya menghadap Rumi. "Pergi ke?"
"Ke luar." Mengerjap pelan, Rumi bingung bagaimana harus menjabarkan keinginannya. Sedikit susah, tapi tak masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Love Grows
FanfictionTidak pernah terpikir oleh Arion bahwa ia harus menikah diumur yang baru menginjak dua puluh tujuh tahun ini. Hidupnya selama ini baik-baik saja seorang diri. Bekerja dan membahas berbagai hal bersama dengan teman-teman solasinya. Bermain game, pus...