Ch. 31

185 30 5
                                    

"Pa." Rumi berjalan menghampiri Devin yang tengah duduk di halaman depan bersama dengan secangkir teh hangatnya.

"Kenapa?" Melirik dengan ekor matanya, Devin tidak begitu peduli dengan keberadaan anak gadisnya ini.

"Rumi mau ngekos aja boleh?" Harap-harap cemas, Rumi hanya ingin tenang, itu saja. Untuk biaya hidup ia masih mempunyai tabungan dan itu lebih dari cukup hingga mulai mencari pekerjaan lagi.

"Kenapa kamu mau ngekos?" Telisik Devin. Rumah mereka kurang besar atau bagaimana?

"Gapapa, Rumi pengen aja."

Berdecak kesal, Devin mengibaskan tangannya tak peduli. "Ngga usah banyak tingkah, mau ngapain juga kamu ngekos? Kuliah engga, kerja engga. Jangan nambah beban."

Terdiam untuk beberapa saat, Rumi meremat kuat kedua tangannya. Menarik nafas panjang sebelum kembali buka suara untuk menyatakan keberatannya, "kenapa cuma aku yang diginiin? Abang sama adek bebas mau ngelakuin apapun, tapi aku ngga bisa. Apa bener kata mama kalau aku sebenernya bukan anak kandung papa?"

Entah kenapa, setiap berbicara dengan Devin dada Rumi terasa sesak. Bayangan Devin yang membawa pisau untuk membunuh bundanya masih terekam dengan jelas di kepala Rumi.

"Siapa yang bilang ke kamu?" Desak Devin.

"Mama. Kata mama aku cuma anak haram buat papa, aku pembawa sial." Isak Rumi. Rasanya semua begitu sulit saat ini. Entah apa yang sudah Rumi lakukan hingga semua orang begitu membencinya.

Berdiri dari duduknya, Devin tersenyum sinis. Sedikit menunduk untuk menyesuaikan tinggi mereka dan menatap tepat pada kedua iris anak keduanya ini.

"Ya, Indri ngga salah. Kamu memang pembawa sial. Jika bisa, papa udah ngebunuh kamu dari lama. Tapi sekarang terlalu cepat kalau kamu mau ketemu sama bunda kamu yang ngga bisa ngapa-ngapain itu." Sinis Devin nyaris tertawa kencang.

"Jadi untuk sekarang, kamu nikmatin dulu aja buah hasil dari apa yang udah bunda kamu lakuin."

"Kenapa harus aku?" Tanya Rumi.

"Ya karna bunda kamu udah mati dan poin pentingnya, kamu anak kesayangan dia." Bisik Devin.

**

Rumi nyaris berteriak karena rasa sesak yang ia rasakan, karena ini adalah kamar milik Arion, maka Rumi tidak bisa membawa serta obat beserta pisau lipat kecil kesayangannya.

Mengatur nafas sebisanya, Rumi tidak ingat kapan ia mulai tertidur. Yang jelas semalam ia masih menangis karena kesal dan khawatir.

"Baru jam setengah lima. Mau ngapain ya." Gumam Rumi, memindahkan tangan Arion yang tengah bertengger di atas perutnya untuk memeluk guling terong kesayangan pria itu.

Rumi berbalik sebentar untuk menatap wajah tenang itu, ingin rasanya Rumi cakar saja wajah tampan nyaris sempurna milik suaminya tersebut, tapi tidak boleh. Rumi masih menyukainya.

Menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh Arion, Rumi beranjak turun dari ranjang. "Adek masih kesel loh ini ya." Bisik Rumi.

Menuruni tangga dan langsung berlalu untuk berbelok menuju dapur, Rumi melihat apa saja yang bisa ia masak pagi ini?

"Nasi goreng sama ayam karage aja kali ya? Nanti buat bekal aku buatin sayur sop."

Sudah berlarut dalam kesibukannya hingga Rumi sudah tidak ingat lagi mengenai mimpinya, kilasan masa lalu selalu mendatangi Rumi melalui bunga tidur sialan yang tidak pernah membiarkannya tidur tenang.

The Way Love GrowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang