Ch. 24

541 64 5
                                        

Selama semalam suntuk ini, Rumi hanya berbaring menghadap jendela. Memeluk gulingnya dengan selimut yang ia tarik hingga sebatas pinggang.

Pergelangan tangannya sudah ia perban rapi hingga tidak ada satu pun tetes darah yang merembes. Obat yang biasa Rumi minum juga sudah dia konsumsi, tapi matanya tetap terasa segar tanpa rasa kantuk.

Melirik pada jam dinding, Rumi bangkit dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Ini baru pukul empat pagi lewat lima belas menit.

Walau terlalu dini untuk menyiapkan sarapan, Rumi rasa tidak masalah. Ia ingin mengunjungi Clara setelah ini.

Sebagai permintaan maaf, Rumi akan kembali membuatkan ayam woku, bakwan jagung, dan juga salad buah coklat. Untuk berjaga-jaga, Rumi juga akan membuatkan nasi goreng juga untuk Arion.

Sibuk dengan diri sendiri, Rumi menghela nafas pelan saat tangannya terasa sedikit berdenyut perih.

Tidak ingin membuang waktu, menatap jam dinding yang sudah menunjukan pukul lima lewat. Sedikit lagi dan semuanya sudah selesai.

Menarik satu sticky note, Rumi menulis beberapa kata untuk Arion.

"Mas, adek keluar sebentar. Sarapannya sudah adek siapin."

**

"Selamat pagi, Bunda. Maaf ya, kakak baru bisa dateng sekarang." Sapa Rumi. Meletakan satu buket bunga matahari yang tadi ia beli di atas makam Clara.

Senyum Rumi terkembang lebar dengan tangan yang mulai membersihkan pinggiran makam. Ia tahu ini masih terlalu pagi untuk mendatangi pemakaman, tapi tak apa.

Mendudukan diri di sebelah makam Clara, Rumi mengatur nafas. Tangannya bertaut di atas makam Clara.

"Bun, kakak mau cerita."

"Kakak udah nikah, maaf ya kakak ngga sempat ngabarin bunda. Kakak ngga dibolehin keluar sama papa. Suami kakak tampan banget tau bun." Memamerkan cincin pernikahannya, Rumi tersenyum tipis. Bukan cincin dengan berlian besar, tidak. Ini hanya model sederhana, tapi Rumi suka.

"Namanya Mikazuki Arion, dia baik, lembut, bunda pasti setuju. Jujur kakak suka Mas Arion, jantung kakak detaknya cepet kalau deket Mas Arion. Tapi keknya Mas Arion ngga suka sama kakak." Bahkan sejak kali pertama mereka bertemu, Rumi sudah menyukai Arion. Pembawaannya yang tenang dan penuh percaya diri, jujur saja Rumi iri.

"Kemarin Mas Arion marah, tapi itu karna salah kakak. Kakak keluar ngga ngabarin mas. Bun, kakak orangnya problematik ya bun? Kakak udah berusaha buat ngga mikirin kata-kata mas, tapi ngga bisa." Rumi tahu, itu bukan salah Arion, Rumi paham. Jika ia menjadi Arion, Rumi juga pasti akan panik.

"Tadi kakak juga keluar ngga ngabarin mas, tapi kakak udah ninggalin catatan di meja makan. Trus juga, Tante Edlyn sekarang kakak panggil mami. Iya, tante Edlyn beneran nepatin janjinya sama bunda. Sekarang kakak dijagain sama mami." Bayangan wajah Edlyn langsung memenuhi kepala Rumi. Senyum manis, wajah cantik, serta suara lembut itu benar-benar membuat Rumi tenang.

"Keluarga mami juga baik banget, nerima kakak. Semenjak bunda pergi, kakak ngga pernah ketemu sama keluarga besar bunda lagi. Kakak udah pernah nyoba untuk tetap silaturahmi, tapi oma ngga mau. Oma keknya masih marah sama kakak. Kakak ngga berani lagi ke tempat oma, kakak takut diusir, hehe." Bohong sekali jika Rumi dapat melupakan semua hal yang dikatakan oleh omanya. Rumi masih ingat dengan sangat jelas semua kata-katanya.

"Papa lebih sering dinas ke luar kota, jadi kakak di rumah sama Tante Indri. Ada abang sama Cherry juga. Bunda ngga usah khawatir, abang sama Cherry dijaga baik-baik kok sama papa sama Tante Indri." Ya, Abel dan Cherry dijaga mati-matian, Rumi yang rasanya hampir mati sekarang.

"Bunda, tangan kakak jelek. Kakak ngga pernah make baju lengan pendek lagi. Bunda jangan marahin kakak ya, kakak udah nyoba berobat kok. Tapi masih belum sembuh, kakak juga rutin minum obat. Bunda tenang aja." Jujur, Rumi ingin menyerah saja rasanya untuk berobat ke rumah sakit. Lelah, akhirnya juga tetap sama. Yang Rumi lakukan tetap mencoret-coret tangannya.

"Kakak baik-baik aja, bunda yang tenang di sana. Tungguin kakak, nanti jangan lupa jemput kakak. Datengin mimpi kakak ya bun, kakak udah hampir lupa sama gimana suara bunda." Terlalu banyak yang kepalanya pikirkan hingga suara yang paling ia nantikan hilang tergantikan begitu saja.

"Kakak balik dulu ya bun, udah mau jam tujuh lewat. Nanti kakak dateng lagi, dadah bunda."

**

Membuka pagar rumah, Rumi menggigit bibirnya saat masih mendapati mobil Arion di garasi mereka.

"Mas ngga berangkat kerja kah?" Gumam Rumi. Berjalan memasuki rumah dengan segala persiapan yang ia bisa.

"Masalah kita tadi malam masih belum selesai, sekarang kamu ulangin lagi."

Baru saja melangkah masuk, suara Arion sudah menyapa gendang telinga Rumi. Kali ini Arion duduk dengan ponsel di dalam genggamannya.

"Maaf, adek tadi udah ninggalin catatan di meja makan." Melirik pada dapur dan semua makanan yang Rumi buat tadi pagi masih utuh, tidak rusak sedikit pun.

"Ke mana kamu pagi-pagi buta? Ngga bisa bilang langsung ke saya?" Meletakan ponselnya, Arion lelah jika harus kembali mengomel. Energinya habis hanya untuk membahas hal yang sama pada Rumi.

"Adek ngga mau ganggu mas tidur." Tanpa disuruh, Rumi berjalan mendekat dan berhenti tepat di sebelah kursi Arion. Menyembunyikan wajahnya di balik poni, Rumi tidak ingin Arion menyadari wajahnya yang membengkak dan matanya  yang berubah sembab.

"Ke mana?" Tanya Arion. Berdiri di depan Rumi yang tengah menunduk.

"Ke tempat bunda." Cicit Rumi.

"Adek cuma ke makam bunda, adek udah lama ngga ke sana. Abis dari makam bunda adek langsung pulang, ngga pergi-pergi lagi. Maafin adek." Meremat ujung bajunya, wajar jika Rumi gugup bukan?

"Adek cuma cerita di sana, maaf lama." Menghapus air matanya dengan telapak tangan, Rumi menunduk menatap ujung kaki Arion. Sekeras apapun usaha Rumi untuk menahan air mata, tetap saja tidak akan berguna jika Arion yang berdiri di depannya.

Kembali terisak, Rumi tidak paham. Sepertinya Tuhan juga ikut marah hingga membuat Rumi kesulitan untuk bertemu dengan Clara.

Melihat tubuh kecil itu yang bergetar dengan kepala yang tertunduk, Arion berjalan mendekat, mengulurkan tangannya seraya menarik Rumi untuk masuk ke dalam pelukannya.

"Mas minta maaf ya. Maaf mas udah kasar banget ke kamu kemarin." Bisik Arion.

"Gapapa, mas ngga salah kok."

Mendengar jawaban Rumi semakin membuat Arion merasa bersalah, semalam ia langsung menelfon Exu untuk mengkonfirmasi dan benar, Rumi pergi bersama adiknya itu.

Tentu saja Exu juga mendapat amukan Arion dan setelah itu, Arion yang diamuk balik oleh Edlyn. Menyadarkan bahwa ia sudah sangat keterlaluan hanya karena Rumi yang lupa memberi kabar.

"Mas jahat banget, maaf ya sayang."

___

Aku mau cuti 2 hari gees.

Babaaay

The Way Love GrowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang