"Dek? Kenapa belum tidur?" Tanya Arion, duduk di sebelah Rumi yang sedang menunduk dengan tangan yang saling meremat satu sama lain.
Tidak ada jawaban, Rumi masih diam menatap pada kedua pahanya.
Menyadari gelagat tidak biasa dari Rumi, tentu saja Arion cemas. Menghadapkan tubuh si kecil padanya dan menangkup kedua pipi berisi itu. "Dek? Loh? Kok nangis, kenapa sayang?" Mengusap kedua mata Rumi, Arion mengeryitkan dahinya tak paham.
"Adek sakit? Mana yang sakit? Ke rumah sakit aja ayo." Ajak Arion.
Tangisan Rumi makin menjadi-jadi, memukul paha Arion dengan kepalan tangannya dan pipi yang makin basah karena air mata.
"Ini udah jam sepuluh lewat, mas adek telfon ngga mau ngangkat, adek chat juga ngga dibalas. Adek takut mas kenapa-napa. Adek takut mas kecelakaan kayak bunda." Isak Rumi. Menyeka air matanya dengan lengan baju tanpa mau menatap Arion.
Jujur saja Rumi ketakutan setengah mati, tidak. Benar-benar mau mati.
"Adek udah makan?" Tanya Arion, mengusap wajah Rumi dengan telapak tangannya diiringi dengan senyum geli yang terlukis di wajahnya.
"Ngga mau. Adek udah kenyang." Kesal Rumi. Kecemasannya setengah mati hanya dibalas kekehan geli oleh Arion? Meraih tangan kiri Arion dan menggigitnya begitu saja.
"Eih, kebalik ini. Harusnya mas yang makan adek, bukan adek yang makan mas." Canda Arion seraya mengacak gemas puncak kepala Rumi.
"Adek bener-bener khawatir, mas bisa santai karna mas ngga tau rasanya nunggu sambil harap-harap cemas takut yang ditungguin kenapa-napa. Adek cuma punya mas sekarang. Kalau mas pergi juga nanti adek sama siapa."
Meraih tangan Rumi yang sedang memukul pahanya dengan brutal, Arion menarik si kecil untuk ia peluk. Mengusap pelan punggung sempit itu dengan satu tangan lagi yang memeluk erat pundaknya.
"Mas minta maaf ya." Bisik Arion.
Menyandarkan dagunya pada bahu Arion, Rumi hanya diam sambil terisak kecil. Rasanya merepotkan sekali memiliki perasaan seperti ini kepada seseorang.
"Maafin mas, ya?"
**
Membaringkan tubuh Rumi di atas ranjang, Arion menarik selimut hingga menutupi pundak sempit itu. Mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur sebelum ia beralih memasuki kamar mandi.
Berdiri di depan kaca, Arion menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Mengulang lagi hal apa yang baru saja ia lakukan.
"Sialan, kenapa Mika bisa gitu ya?" Decak Arion, entah apa yang salah pada dirinya. Yang jelas Arion tidak paham, kenapa ia bisa ke sana dan melakukan hal menjijikan itu?
"Kalau mami sama Exu tau, pasti kecewa berat mereka."
**
Mengetukan telunjuknya di atas meja, Harris merasa ada yang janggal selama beberapa hari ini. Dengan kaki kanan yang menindih kaki kirinya, Harris menatap Gin yang sedang fokus menonton.
"Gin." Panggil Harris.
"Hm?" Melirik dari ekor matanya, Gin berdengung tak peduli. Jika ingin bicara ya langsung saja, malas sekali Gin menanggapi berulang kali.
Menopang dagunya dengan tangan kanan, alis Harris berkerut nyarus menyatu. "Aku ngga suka sama Fara."
"Ya ngga masalah? Kenapa juga kamu harus suka sama dia? Kalau dia udah ada pacar gimana?" Menatap Harris penuh atensi, memang lain sekali tinggal temannya ini. Gin tidak akan pilih-pilih teman, tapi tolong jangan jadi orang ketiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Love Grows
FanfictionTidak pernah terpikir oleh Arion bahwa ia harus menikah diumur yang baru menginjak dua puluh tujuh tahun ini. Hidupnya selama ini baik-baik saja seorang diri. Bekerja dan membahas berbagai hal bersama dengan teman-teman solasinya. Bermain game, pus...