Ch. 17 Warning!

424 28 4
                                    

Masih dengan euforia perut yang seperti diterbangi oleh ribuan kupu-kupu, pipi yang masih memanas, dan jantung yang berdebar tidak karuan.

Kebahagiaan Rumi terganggu dengan notifikasi dari ponselnya, meraih benda pipih itu dengan tangan kanannya. Mata Rumi sedikit membola kaget saat yang mengiriminya pesan adalah Cherry.

Kontak pertama yang Arion masukan ke dalam ponsel Rumi kemarin tentu saja kontaknya sendiri, disusul dengan kontak anggota keluarga yang lain. Walau jauh di dalam sudut hatinya, Rumi ingin sekali mengatakan untuk tidak usah, tapi Rumi urungkan.

Ia hanya tidak ingin Arion terlalu cepat menyadari bahwa hubungannya dengan orang-orang yang ia sebut keluarga itu begitu buruk.

Ia hanya tidak ingin Arion terlalu cepat menyadari bahwa hubungannya dengan orang-orang yang ia sebut keluarga itu begitu buruk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menggigit resah kuku-kukunya, Rumi bahkan masih bisa merasakan bagaimana sulitnya ia bernafas dulu.

**

"Aku ngga ngapa-ngapain, Pa." Rumi kembali meyakinkan Devin bahwa bukan ia penyebabnya.

"Kalau bukan kamu siapa lagi? Cuma kamu yang ada di sini." Devin membungkuk untuk membantu Indri berdiri. Berdecak kesal saat melihat pakaian depan istrinya ini yang sudah basah, belum lagi dengan genangan air dan juga beberapa pecahan kaca yang berserakan di atas lantai.

"Mama yang nyiram diri sendiri trus ngebuang gelas itu ke lantai!" Rumi berteriak frustasi. Matanya sudah berkaca-kaca karena perasaan yang bahkan ia sendiri tidak bisa mendeskripsikannya.

Mendekati Rumi, tangan Devin sudah terangkat di udara dan saat itu juga, tamparan keras langsung mendarat di pipi berisi yang sudah mulai tirus itu.

"Berani kamu teriak di depan papa ya." Murka Devin. Menarik tangan Rumi begitu saja dengan cengkraman yang suskes membuat ngilu pergelangan tangan anak tengahnya.

"Aku ngga salah. Lepasin aku." Berteriak tidak terima, tentu saja Rumi memberontak, untuk apa juga ia melakukan hal seperti itu?

"Bang, tolongin Rumi. Abang liat kalau bukan Rumi yang nyiram mama kan? Bang!" Menggapai tangan Abel walau yang ia dapat hanya angin kosong.

Rasanya begitu sia-sia menarik diri dari cengkraman Devin, bukannya lepas yang ada tangannya hanya memerah dengan rasa perih yang mulai menjalar.

"Makin kurang ajar kamu sekarang papa lihat ya." Tak menghiraukan teriakan Rumi, Devin tetap berjalan menuju pintu utama dan berbelok menuju gudang di samping rumah mereka.

"Aku udah bilang itu bukan salah aku, papa yang ngga pernah percaya sama aku!" Isak Rumi. Memukul lengan Devin saat pintu gudang sudah semakin dekat dengan matanya.

Tak menghiraukan ucapan Rumi, Devin langsung membuka pintu gudang dengan satu tangan. Melemparkan Rumi ke dalam sana dalam keadaan yang benar-benar gelap. Bahkan tak ada satu pun siluet cahaya yang masuk ke dalam ruangan pengap itu.

The Way Love GrowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang