Berdecak tidak senang, Arion kembali mendudukan diri. Melepaskan dasi yang sedari tadi sudah mencekik lehernya. "Mana ponsel kamu?" Tanya Arion.
Merogoh tas selempangnya, Rumi tidak menemukan benda pipih pemberian Arion di sana. Mencoba mengingat-ngingat di mana terakhir kali ia meletakan ponselnya.
"Mana?"
"Ada di kamar, lupa adek bawa."
Menarik nafas, mata Arion terpejam selama beberapa detik. "Kamu tau kenapa saya beliin kamu ponsel? Biar saya gampang ngehubungin kamu, begitu juga sebaliknya. Saya kerja, jarang di rumah. Sedangkan kamu sendirian di sini, kalau ada apa-apa kamu bisa langsung ngabarin saya. Kalau emang kamu ngga butuh, bilang dari awal. Biar langsung saya buang."
"Maaf." Bisik Rumi.
"Saya ngga butuh! Kamu tau sepanik apa saya waktu pulang tadi?" Arion menatap wajah Rumi yang masih menunduk dengan tangan yang saling menyatu di depan tubuh.
"Lampu mati, rumah kosong ngga ada siapa-siapa. Saya cari kamu kek orang gila takut kamu kenapa-napa, tau? Ngga bisa kamu nginget satu pesan saya? Apa perlu saya pasang papan tulis besar biar bisa kamu baca setiap saat?" Bahkan jas kerja beserta dengan dasinya juga baru saja ia lepaskan dari tubuhnya. Ia berlari mengelilingi rumah untuk memastikan keberadaan Rumi yang tidak bisa ia temukan.
"..."
"Ngga ada mulut? Saya lagi ngga bicara sama patung sekarang ini." Sindir Arion, masih berusaha tenang walau rasanya ingin sekali Arion memaki saat ini. Jika bukan karena Rumi adalah wanita, sudah Arion pastikan ia lebih memilih baku hantam dibandingkan dengan berbicara panjang lebar seperti ini.
"Ngga perlu." Mencicit pelan, mata Rumi sudah berkaca-kaca. Ia akui itu memang salahnya dan sudah sewajarnya jika Arion marah.
Menghela nafas lelah, Arion memangguk pelan. Ia sedang berusaha menahan sisi binatangnya saat sedang naik pitam seperti ini. "Kasih saya satu alasan kenapa ponsel kamu bisa kamu tinggal di kamar."
"Adek udah lama ngga make ponsel, jadi kadang suka lupa kalau sekarang adek punya itu." Jelas Rumi. Suaranya bergetar karena menahan takut.
Dahi Arion langsung berkerut dengan perempatan siku-siku imajiner yang tercetak di sudut dahinya. "Ck, that bullshit! Jangan sampai saya datengin keluarga kamu dan mulangin kamu ke sana cuma karna masalah ini ya. Entah kamu yang problematik, entah keluarga kamu yang problematik di sini."
Menggeleng tidak mau, Rumi langsung berlutut di depan Arion yang masih duduk di atas kursi dengan kaki yang saling tumpah tindih. "Jangan, adek mohon. Adek ngga bakal gini lagi. Jangan pulangin adek ke sana." Menggenggam ujung celana Arion, pipi Rumi sudah basah dengan aliran air matanya.
**
Semenjak kepergian Clara, yang Rumi lakukan hanya berusaha bertahan hidup. Sudah berapa kali ia mencoba kabur dan sebanyak itu juga Indri menyiksanya.
Menatap sekeliling rumah dan tidak ada satu pun yang memperhatikannya. Berjalan lunglai menuju pintu utama, yang Rumi mau hanya keluar dari rumah yang sekarang menjadi seperti Neraka baginya.
Hanya beberapa langkah lagi hingga ia bisa melewati pintu besar itu, suara Indri langsung menggema ke penjuru rumah.
"Siapa yang ngebolehin kamu ke sana? Naik ke kamar kamu sekarang atau saya bakal ngelakuin sesuatu lagi biar kamu sadar." Ancam Indri.
Tak bergeming, Rumi tetap berjalan menuju pintu. Jika bisa berlari, sudah pasti akan Rumi lakukan sedari tadi.
Suara langkah kaki Indri dengan sendal rumahnya sudah terdengar menyusul langkah Rumi. Melirik sebentar, jantung Rumi berdetak kencang. Memaksa kakinya yang sudah pincang untuk berlari menuju gerbang, bekas pukulan rotan dari Indri dua hari lalu masih terasa begitu panas di betisnya. Bahkan jejak merah memanjang masih terlihat begitu jelas di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Love Grows
FanfictionTidak pernah terpikir oleh Arion bahwa ia harus menikah diumur yang baru menginjak dua puluh tujuh tahun ini. Hidupnya selama ini baik-baik saja seorang diri. Bekerja dan membahas berbagai hal bersama dengan teman-teman solasinya. Bermain game, pus...