Menangkap kedua tangan Rumi yang sedari tadi memukulinya tanpa henti, Abel akhirnya memutuskan untuk membawa Rumi masuk ke dalam pelukannya. Mengusap pelan punggung si kecil walau yang ia dapatkan adalah pukulan kuat pada punggungnya.
"Lepas!" Memberontak sebisanya, Rumi mendorong tubuh Abel walau tanpa hasil. Badan sebesar bison itu bagaimana bisa Rumi kuat?
"Dengerin abang dulu." Pinta Abel.
"Ga! Keluar, aku mau sendiri!" Menggigit lengan Abel saat Rumi tahu bahwa usahanya sia-sia. Setelah ini pria besar itu pasti akan langsung melepaskannya.
"Dengerin abang dulu." Mengeratkan pelukannya, Abel menumpukan dagunya pada puncak kepala Rumi. Tidak ada respon berarti saat gigi-gigi Rumi menancap pada lengan berototnya.
Diam selama beberapa saat, Abel masih tidak berubah dari posisinya. Memastikan ketenangan Rumi dulu sebelum akhirnya ia bicara.
"Dengerin abang dulu." Pinta Abel. Mendudukan Rumi di atas ranjang dan Abel yang meraih kursi untuk duduk di depan rumi.
"Abang minta maaf, abang tau sel-"
"Ga guna!" Pangkas Rumi. Maaf? Untuk kesalahannya yang mana? Rasanya sudah terlalu banyak dosa Abel yang tidak bisa Rumi maafkan.
Mengulum bibirnya, Abel tahu. Ia paham. "Iya, abang tau kata maaf abang ngga berguna sekarang. Tapi cuma itu yang bisa abang lakuin. Abang ngga mau mama yang turun tangan langsung buat ngerjain kamu." Menggenggam kedua tangan Rumi, Abel menarik nafas dalam sebelum akhirnya memilih untuk menceritakan semuanya.
"Abang tau selama ini abang keliatan benci banget sama kamu, tapi abang ngga pernah gitu. Abang sayang banget sama ka-"
"Halah, eek." Potong Rumi. Memutar jengah bola matanya dengan pandangan yang mengarah pada jendela kamarnya, sebentar lagi Rumi yakin pasti akan turun hujan.
"Kalau mama yang ngelakuin semuanya, sekarang kamu ngga bakal ada di sini. Kamu bener-bener udah nyusul bunda, abang ngga mau." Abel menggeleng tak terima, hanya Abel yang boleh menyakiti Rumi di dunia ini.
"Abang bener-bener minta maaf, kalau abang keliatan kasihan sama kamu, mama bakal makin menjadi-jadi, abang ngga mau kamu kenapa-napa. Abang ngga rela kalau orang lain nyakitin kamu." Menggenggam tangan Rumi, Abel menggeleng tidak terima. Membayangkannya saja sudah membuat dada Abel sesak.
Tertawa sinis, Rumi menggeleng tidak percaya. "Menurut abang aku bakal bilang terima kasih habis ini? Menurut abang aku mau hidup kek gini? Cape tau, Bang. Aku cape."
"Dan lagi, menurut abang aku bakal percaya sama omong kosong ini? Setelah semua pait yang aku telen, terus abang ngomong dengan dramatis gini. Aku percaya? Aku keliatan sebodoh itu?" Melepaskan tangannya dari genggaman Abel, Rumi berdiri dari ranjangnya. Berjalan menuju pintu kamar dan membuka lebar pintu kayu itu.
"Keluar." Suruh Rumi. Pandangannya terpancar begitu angkuh dan dingin.
"Rum."
"Keluar! Jangan pernah berharap aku bakal percaya sama omong kosong itu. Kalau semisal memang itu kenyataan, aku juga ngga bakal percaya. Silakan makan rasa bersalah itu sampai abang rasanya mau mati. Persis kek gimana kalian ngebunuh Rumi sebelumnya."
**
Entah sudah berapa lama Arion ditinggal Rumi. Rasanya sudah sangat lama, Arion merasa ada yang salah dengan kepalanya.
Tidak.
Bukan cuma kepala, tapi semuanya.
Melirik layar ponselnya, sudah nyaris tiga bulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Love Grows
FanfictionTidak pernah terpikir oleh Arion bahwa ia harus menikah diumur yang baru menginjak dua puluh tujuh tahun ini. Hidupnya selama ini baik-baik saja seorang diri. Bekerja dan membahas berbagai hal bersama dengan teman-teman solasinya. Bermain game, pus...