"Kalau ada apa-apa, kamu bisa ketok pintu kamar aku. Selamat istirahat." Mengacak puncak kepala Rumi, Arion tersenyum simpul.
"Iya, Mas. Selamat istirahat."
Sepeninggalan Arion, Rumi menatap pada sekeliling kamar dengan nuansa tenang berwarna crem itu. Semuanya sudah ada di sana, meja dan kursi baca di dekat jendela, lemari pakaian, bahkan segala macam skincare yang biasa Rumi gunakan.
Arion benar-benar sudah mempersiapkan semuanya.
Duduk tenang pada sudut ranjang, Rumi menghela nafas pelan. Meletakan tasnya di bawah kaki ranjang dan mulai melepaskan jaket yang sedari tadi membalut tubuhnya.
"Kamarnya bagus, luas kalau buat sendiri. Aku suka." Menatap sekitar kamar dengan kaki yang mengayun di atas lantai.
Ah, Rumi baru sadar jika ada satu rak kecil berisi sekumpulan buku. Sepertinya ada novel dan beberapa bacaan yang sesuai dengan posisi Arion.
Merebahkan tubuhnya di atas ranjang, tangan Rumi merentang lebar. Menghirup nafas lega, senyum tipis mengembang di bibirnya, "aku ngga bakal di tahan di kamar aja kan? Mas Rion bakal ngebolehin aku pergi keluar kan?" Menggigit bibirnya resah, Rumi lupa menanyakan hal tersebut.
Tanpa sadar kedua kakinya melangkah gugup melewati pintu kamar, berbelok ke kanan sedikit, dan berdiri gusar di depan pintu kamar Arion.
"Ketuk ngga ya? Atau besok aja?" Bergumam pelan, Rumi meremat pergelangan tangannya dengan kuat.
"Tapi kalau besok ngga ketemu gimana? Aku belum tau Mas Rion berangkat kerja jam berapa. Aku juga ngga punya kontak Mas Rion." Keraguan besar menyelumuti hati Rumi, ingin ia tahan hingga besok, tapi sejujurnya Rumi juga sangat butuh kepastian sekarang.
Tanpa sempat ia menyelesaikan pemikirannya, tangan kanan itu sudah lebih dulu mengetuk pintu kayu di depannya ini.
"Kalau Mas Rion ngga keluar, berarti besok aja. Kalau Mas Rion keluar, aku bakal nanya hal lain aj-"
"Iya, kenapa?" Dengan tubuh yang sepenuhnya sudah berada di depan Rumi, Arion tersenyum kecil.
"Itu..."
"Ya?"
"Aku... aku mau nanya satu hal." Menatap ujung kaki Arion, Rumi tidak berani mengangkat wajahnya.
"Boleh, tanya apa?"
"Aku... ada batas yang ngga boleh aku lewatin ngga, Mas?"
Dengan dahi berkerut tak paham, Arion menatap Rumi penuh tanya. "Batas? Maksudnya?"
"Misal, aku ngga boleh ke ruang baca punya Mas. Atau aku ngga boleh ngelewati pintu utama, tempat atau hal apa aja yang ngga boleh aku tuju atau aku lakuin." Memperjelas kebingungan yang sudah ia sebabkan, Rumi mengulum senyum tak enak hati.
Alis Arion berkerut tak mengerti, kenapa kata-kata gadis ini penuh teka-teki sekali? "Ngga ada, kamu bebas kemana aja. Tapi kalau kamu mau keluar rumah, tolong kasih tau aku, dan itu wajib."
"Jadi aku boleh pergi-pergi?" Ulang Rumi memastikan.
"Of course you can. Do what you wanna do."
"Terima kasih."
**
Seperti biasa, Rumi akan selalu bangun tepat pada pukul lima pagi. Menatap sebentar pada sekeliling kamar yang akan menjadi kamarnya mulai sekarang.
Rumi benar-benar menyukai kamarnya yang sekarang, semuanya terasa tenang dan nyaman.
Menyibak selimutnya, Rumi berjalan pelan memasuki kamar mandi. Mengumpulkan nyawanya yang masih bertebaran kemana-mana.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Love Grows
FanfictionTidak pernah terpikir oleh Arion bahwa ia harus menikah diumur yang baru menginjak dua puluh tujuh tahun ini. Hidupnya selama ini baik-baik saja seorang diri. Bekerja dan membahas berbagai hal bersama dengan teman-teman solasinya. Bermain game, pus...