Memeluk erat tubuh Rumi, Arion hanya diam tanpa banyak tanya. Walau nyawanya masih setengah yang terkumpul di dalam tubuh, tapi tak apa.
Diam-diam meraih ponselnya yang berada di sudut sofa, tepat di belakang Rumi. Arion mulai menghubungi Exu, mengirim beberapa pesan untuk memastikan dimana keberadaan si bungsu.
"Cu, habis beli ponsel titip makanan dong. Nanti uangnya kakak transfer. Beli apa aja terserah, sekalian buat kamu. Makan di sini aja."
Merenggangkan pelukannya, Arion menatap wajah sembab Rumi yang masih menangis sedih. Mengusap kedua pipi putih itu dengan kedua ibu jarinya, Arion tidak tega juga lama-lama.
"Ada apa? Kenapa nangisnya sedih banget gitu? Kepala mas berat? Kakinya sakit?" Tidak ada lagi yang bisa Arion pikirkan selain alasan itu, ya salahnya juga memang.
Menggeleng, Rumi masih terisak. Memegang erat kedua sisi baju Arion pada bagian pinggangnya. "Bukan."
"Masih mau nangis dulu? Mas tungguin kok." Hibur Arion. Menyeka air mata Rumi dengan lengan bajunya, tisu terlalu jauh. Arion begitu malas untuk beranjak sekarang ini.
"Maaf." Isak Rumi. Menatap Arion dengan matanya yang sudah terlihat kabur. Rumi tidak berani menunduk, kata-kata Arion masih terngiang-ngiang di kepalanya.
"Minta maaf kenapa?" Tanya Arion. Jika memang benar kakinya sakit, seharusnya Arion yang meminta maaf bukan?
"Udah bangunin mas."
"Damn."
**
"EXU DATAAANG!"
Dengan suara menggelegar dan juga kedua tangan yang memegang kantong belanjaan, Exu membuka pintu diiringi dengan senyum manisnya.
Melangkah masuk dengan langkah riang dan mendapati Rumi yang tengah menangis dengan Arion yang tengah menenangkannya.
"Bro? What are you doing?" Pekik Exu. Bersiap menerjang Arion dengan sepatu Air Jordan miliknya sebelum pria itu mengangkat tangan terlebih dahulu.
"Bukan kakak ini, lagi sedih dia." Jelas Arion.
Merentangkan lengannya, Exu sudah bersiap memeluk Rumi dengan dekapan hangatnya sebelum suara sang kakak kembali bergema.
"Ambilin piring dulu tolong, mati aku ini mati."
"Drama banget, heran." Sinis Exu. Walau begitu, langkahnya tetap saja menuju dapur setelah meletakan bingkisan yang ia bawa ke atas meja.
"Nangisnya udahan dulu ya? Kamu belum makan siang kan? Ayo makan dulu, mas udah nitip sama Exu tadi." Mengusap kedua mata sembab itu, Arion menjangkau beberapa helai tisu di atas meja dan memberikannya kepada Rumi.
"Aku minta maaf." Bisik Rumi.
"Gapapa, gapapa."
"Ayo makan dulu, antri nih tadi Exu belinya." Dengan tiga piring di tangan kanannya, Exu langsung saja duduk di atas karpet bulu, dan menghidupkan televisi dengan saluran kartun anak-anak.
"Maaf ya, aku ngga masak." Bisik Rumi. Membiarkan Arion mengeluarkan semua bawaan yang Exu bawa masuk.
"Ngga masalah, Kak. Exu juga emang lagi pengen naspad. Kak Rumi Exu pesenin ayam bakar gapapa? Atau mau ganti sama punya Exu, Exu tadi pesen dendeng." Tawar Exu, memperlihatkan bungkusan dengan alas daun pisang yang sudah ia bentang di atas piring lebar milik Arion.
"Kakak kamu pesenin apa?" Masih membuka bungkusan miliknya, Arion sudah terlanjur penasaran. Ia tidak ingin kecewa.
"Ikan bakar, tenang aja. Ngga bakal salah." Mulai memperhatikan layar telivi, Exu sudah tidak peduli lagi pada ocehan kakak kandungnya itu. Banyak mau memang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Love Grows
FanfictionTidak pernah terpikir oleh Arion bahwa ia harus menikah diumur yang baru menginjak dua puluh tujuh tahun ini. Hidupnya selama ini baik-baik saja seorang diri. Bekerja dan membahas berbagai hal bersama dengan teman-teman solasinya. Bermain game, pus...