Ch. 16

204 24 4
                                    

"Loh, Mas?" Menatap telapak tangannya, Rumi menatap Arion dan kartu pipih di tangannya secara bergantian. Apa coba?

"Kamu pegang kartu mas aja. Mas ngga tau keperluan kamu selama seminggu itu berapa, jadi kamu bebas mau beli apa aja pake itu." Arion merebahkan kepalanya di atas pangkuan Rumi, memeluk pinggang ramping itu dan menyembunyikan wajahnya di sana.

Ngantuk, Arion hanya ingin tidur.

"Kalau nanti uangnya aku pake buat yang ngga bener?" Mengusap rambut Arion, Rumi masih menatap kartu hitam di tangannya. Yang Rumi pikirkan hanya berapa banyak uang suaminya yang ada di dalam benda pipih ini?

"Mas bakal hukum kamu, jadi jangan coba-coba." Makin mengusakan kepalanya pada perut Rumi, empuk. Seperti bantal.

"Terima kasih. Ini aku simpen dulu ya, nanti aku pake kalau mau bulanan." Meletakan kartu debit Arion pada kantong celananya. Rumi beralih untuk mengusap pelan helai ungu lembut itu.

"Jangan buat bulanan aja, kalau kamu mau belanja tas, sepatu, apapun itu. Pake aja, uang mas banyak. Ngga bakal habis." Sebagai anak kaya raya dari sebelum lahir, Arion tidak begitu peduli dengan uang yang ada di dalam kartu itu. Jika habis, kartunya masih banyak. Tenang saja.

Tidak perlu khawatir soal keuangan.

"Apapun?" Ulang Rumi. Kepalanya sudah mulai memikirkan beberapa barang yang ia inginkan.

"Iya, apapun, Sayang."

Menyamankan posisi kepalanya di atas pangkuan Rumi, Arion sudah mulai tertidur. Ia memang sudah sangat mengantuk teman-teman.

Merasakan deru nafas teratur dari pria di pangkuannya ini, Rumi mulai menepuk pelan pundak Arion. Mengusap lembut helai ungu itu dengan senyum yang mengembang tipis.

"Beruntung banget perempuan yang nanti bakal dicintai sama Mas Arion." Membathin, Rumi akui ia iri, tapi masih sadar diri. Bisa merasakan menjadi istri Arion saja Rumi sudah sangat bahagia.

"Sama siapapun mas nanti, semoga selalu bahagia ya."

**

Ini sudah hampir sebulan lamanya Arion dan Rumi tinggal bersama. Dan selama satu bulan itu juga mereka tetap tidur dalam kamar yang terpisah.

Hari-hari mereka juga tidak ada yang spesial, Arion yang akan berangkat bekerja dan Rumi yang akan diam di rumah. Sesekali sopir pribadi Edlyn akan menjemputnya ke rumah utama dan Arion yang akan menjemputnya untuk pulang.

"Dek." Arion berjalan keluar dari kamar dan menuruni tangga dengan pakaian casual miliknya.

"Di dapur, Mas." Sahut Rumi.

"Dek, mas mau keluar dulu ngumpul sama anak-anak. Kamu gapapa tinggal di rumah sendiri?" Melingkarkan tangan besar itu  di perut Rumi, Arion menumpukan dagunya tepat di atas kepala si kecil. Keuntungan memiliki istri dengan tinggi di bawah garis minimum.

"Gapapa." Mengangguk tak masalah, Rumi sedikit mendongak untuk dapat menatap mata Arion.

"Atau mau ikut sama mas?" Mengusap pipi Rumi, satu kecupan Arion layangkan pada dahi yang tertutup poni itu. Entah kenapa Arion akhir-akhir ini senang sekali melakukan kontak fisik dengan Rumi.

"Jangan, nanti kalau ada aku topiknya bakal beda. Aku bisa kok di rumah sendiri." Walau nyatanya Rumi jug ingin menikmati waktu berdua dengan Arion, akan jadi masalah jika seandainya Rumi benar-benar ikut. Rumi tidak ingin membuat Arion tertekan tentu saja

The Way Love GrowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang