Ch. 26

233 34 5
                                    

"Cerah sekali aura si papi. Liat, Ris." Mengangkat dagunya, Gin menyenggol Harris yang tengah makan batagor dengan tenang di depan komputer.

Mengikuti arahan Gin, Harris melirik pada Arion yang juga tengah makan sandwich di mejanya sendiri. Sebenarnya tidak ada yang berubah dari Arion, hanya saja memang suasana di sekeliling pria itu seperti bertabur bunga.

"Iya ya, udah dapet jatah kali?" Bisik Harris. Memperhatikan pria bersurai ungu gelap yang tengah mengenakan kemeja hitam serta dahi yang mengumbar keberbagai arah.

Harris akui temannya ini memang tampan.

"Kan emang si papi yang ngga mau ngambil selama ini." Balas Gin, walau mulut sibuk bertukar informasi, fungsimya masih maksal tenang saja.

Makan dan berbicara.

"Oiya benar, udah kebelet kali semalam."

**

Rumi menggeliat pelan di dalam selimutnya. Mengerjapkan mata seraya masih mencerna informasi yang saat ini tengah terjadi.

Jam digital Arion sudah menunjukan angka sembilan lewat empat puluh menit. Ya, mereka benar-benar sekamar. Dengan Arion yang memindahkan semua barang-barang Rumi ke dalam kamarnya dengan tangannya sendiri.

Rumi? Walau ia mau, tapi ia bersikeras untuk tidur di kamar miliknya. Rumi tidak ingin Arion merasa terpaksa karena rasa bersalah kemarin.

"Mas tadi udah sarapan belum ya?" Menatap langit-langit kamar dengan selimut yang ia genggam erat di depan dada. Rumi bahkan tidak sadar kenapa ia malah tertidur lagi.

__

Bergelung di dalam selimut dan meringkuk seperti bayi, Rumi samar-samar dapat mendengar suara Arion yang menyapanya dipagi buta ini.

"Morning, Honey."

Memegang lengan Arion, Rumi mengerjap pelan. Nyawanya masih belum terkumpul dan jujur saja Rumi masih mengantuk.

"Kalau masih ngantuk lanjut tidur aja gapapa. Lauk yang kemarin masih ada kok." Menepuk pelan puncak kepala Rumi, Arion memperhatikan hidung kecil itu yang kini berkerut tipis.

"Gapapa, adek siapin sarapan dulu."

Menahan kedua bahu Rumi ke atas ranjang, Arion menggeleng tidak setuju. "Tidur, mas mau mandi dulu. Jangan kemana-mana." Tegas Arion, merunduk untuk mencium dahi Rumi dan berlalu memasuki kamar mandi.

Mengangguk pasrah, Rumi memilih untuk meraih guling Arion dan memeluknya dengan erat. "Parfum mas enak banget." Gumam Rumi.

Entah karena begitu mengantuk, entah karena Arion yang mandi terlalu lama, Rumi kembali jatuh tertidur dengan guling Arion yang ia peluk di depan dada.

Lima belas menit berlalu dan Arion baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melingkar di pinggangnya.

"Lah? Udah tidur lagi aja?" Mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil yang bertengger di atas bahu, Arion berjalan mendekati lemari.

Berdiam beberapa menit untuk memilih baju apa yang ia kenakan, walau ujung-ujungnya warna hitam tetaplah pilihan utamanya.

"Gila, cakep banget gueh." Merapikan rambutnya di depan kaca, Arion mengusap dagunya dengan jari telunjuk dan juga ibu jari.

"Dek." Panggil Arion, memposisikan kedua tangannya pada sisi kepala Rumi, Arion menunggu mata itu untuk terbuka.

"Adeeek." Lagi, kali ini mencolek hidung kecil itu dengan telunjuknya. Ingin sekali rasanya Arion gigit kedua pipi itu saat ini.

"Mas?" Memperhatikan wajah Arion yang entah kenapa bisa begitu dekat dengan wajahnya. Mengangkat satu tangannya, Rumi mulai menusuk-nusuk pipi Arion dengan jemarinya.

"Kenapa, Sayang?" Tanya Arion, menggenggam tangan Rumi dan mengecup punggung tangan milik sang wanita.

"Adek tau mas ganteng, tapi entah kenapa mas makin ganteng aja kalau pake kemeja hitam gitu." Puji Rumi. Entah ia sudah sepenuhnya sadar atau belum, biarlah Rumi yang menanggung malunya sendiri nanti.

Tawa Arion langsung terdengar nyaring memenuhi isi kamar. "Adek belum bangun ya?" Bisik Arion.

Mendengung sekilas, Rumi mengalungkan kedua tangannya pada leher Arion. Menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher pria yang lebih dewasa, "adek udah bangun kok." Ujar Rumi.

"Iya, udah. Mas berangkat dulu ya. Mas nanti siang ngga pulang, adek ngga usah masak. Pesen aja, isrirahat." Mengusap surai Rumi, Arion sesekali mengecup puncak kepala si kecil.

"Mas makan di kantor?" Tanya Rumi, menengadah untuk menatap wajah tampan yang semalam suntuk sudah ia perhatikan dengan jarak sedekat ini.

"Iya, sekali sebulan ada acara makan bareng di kantor. Wajib untuk semua staff, termasuk mas, Gin, sama Harris." Jelas Arion, menggesekan kedua hidung mereka karena jujur saja Arion gemas. Benar-benar gemas.

"Ngga tuker bekal?" Rumi memastikan lagi, Rumi merasa tidak enak jika itu ternyata acara tukar bekal dan ia tidak membuatkan apapun untuk Arion.

"Engga, kita pesen dari luar. Itung-itung self reward." Menenangkan Rumi, Arion tahu apa yang otak kecil itu pikirkan.

"Hati-hati." Melepaskan pelukannya, Rumi kembali merapikan pakaian Arion, takut kusut karena pelukan mematikannya tadi.

"Iya, adek juga jangan nakal di rumah. Nanti mas usahain pulang cepat." Mengecup dahi Rumi, berpindah pada hidung, dan berakhir di kedua pipi gembil itu. "Give me a kiss."

Kedua pipi Rumi langsung memerah tanpa bisa ia kontrol, menangkup kedua pipi Arion dan memberikan satu kecupan pada dahi yang sudah tidak tertutup oleh poni itu.

"Thank you, but i want it on my lips." Menaikan sebelah alisnya, Arion mengusap bibir Rumi dengan ibu jarinya. Tersenyum kecil dengan mata yang menatap tepat pada kedua binar cerah itu.

"Mas." Rengek Rumi. Sumpah demi apapun, Rumi malu!

"Mau kamu yang nyium atau mas yang nyium? Kalau mas yang nyium ngga bakal cukup sama kiss, udah pasti lebih itu." Berbicara tepat di depan bibir Rumi, hidung mereka sudah saling bersentuhan karena jarak yang memang begitu dekat.

Menggigit bibirnya resah, Rumi menatap pada telinga Arion saking tidak bisanya ia menatap mata itu.

"Jangan digigit, itu tugas mas nanti." Goda Arion.

"Mas! Adek malu!" Rengek Rumi. Kembali mengalungkan lengannya pada pundak lebar itu untuk menyembunyikan wajah semerah tomatnya.

"Ayo, mas mau berangkat. Kalau telat potong gaji ini, emang kamu mau makan rumput?" Mengacak surai Rumi, Arion menjauhkan tubuh mereka, menggigit hidung kecil itu dengan tawa tipis yang keluar dari mulutnya

"Kata mas uang mas banyak?"

"Iya sih, emang. Alasan aja itu biar bisa dapat ciuman. Jadi mana ciuman selamat lagi mas?"

__

"Aaa! Bundaaa, kakak malu!"

**

"Dih? Ketawa-ketawa dia, Ris! Ngga bener ini, Ris. Kalau dia kesurupan, kamu yang maju. Aku ngga mau!" Bisik Gin.

"Ogah. Kita kabur aja, minta satpam yang bungkusin dia buat dikirim ke rumah sakit." Balas Harris. Enak saja. Mana mau Harris, lebih baik Harris pulang dan lanjut bermain game.

"Damn, Bro. How cruel you are." Menggeleng tak percaya, Gin memberikan kedua jempolnya. "Tapi itu pilihan terbaik emang sih."

__

Aku ngga kuaaaat.
Kalau kalian nonton rp papi, mungkin bisa kebayang bagian ini ahahah 😭🙏🏻

The Way Love GrowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang