"Gimana? Coba kamu ulang." Edlyn gagal fokus, memang topik ini ia harus tahu juga? Ya tidak masalah sebenarnya, hanya saja untuk apa?
"Aku suka sama seseorang." Ulang Arion. Duduk tegap dengan kepala yang terangkat tinggi menatap kedua orang tuanya.
Persis seperti apa yang Rumi mau, Arion benar-benar mengatakan perihal kejadian kemarin kepada Edlyn dan Alden.
"Ya bagus dong? Ngga ada yang salah juga dengan kamu suka sama istri kamu sendiri. Kecuali kalau kamu suka sama istri orang baru masalah." Kembali melanjutkan mengupas buahnya. Anak muda memang suka pamer.
"Yang aku suka bukan Rumi."
Edlyn tidak bisa berkata-kata. Menatap Arion yang duduk tepat di depannya, entah bagaimana Edlyn harus menanggapi ini.
"Come again?" Ulang Edlyn. "Keknya mami salah denger." Menggeleng tak percaya, sepertinya Edlyn sudah sangat tua. Pendengarannya sudah sedikit terganggu nampaknya.
"Mi."
"Exu, bawa Rumi naik. Mami mau bicara sama kakak kamu." Perintah Edlyn. Ternyata serius ya? Edlyn pikir ini hanya candaan anak sulungnya.
Menggeleng, Rumi menatap Exu penuh permohonan. "Exu, aku mau di sini. Aku takut nanti mas kenapa-kenapa." Ujar Rumi.
Sejak awal ibu dan anak ini mulai bicara, Rumi hanya duduk diam dengan senyum tipis di wajahnya. Meyakinkan orang-orang bahwa dia baik-baik saja walau sejujurnya, Rumi begitu lelah.
Ya, Rumi hanya lelah.
"Kak." Exu menarik pelan tangan Rumi yang tetap bersikeras tidak mau beranjak. Exu tahu pembicaraan ini tidak baik untuk Rumi, akan tetapi jika Rumi bersikeras, bagaimana Exu harus bertindak?
"Aku mohon, aku baik-baik aja. Aku cuma mau mastiin keadaan mas aja." Entah kenapa, melihat reaksi Edlyn sepertinya tidak akan berakhir baik untuk Arion.
Apa lagi yang bisa Exu lakukan jika sudah begini? Memilih untuk berdiri di belakang Rumi, berjaga-jaga jika sesuatu terjadi pada wanita itu.
"Sama siapa?" Tanya Edlyn. Pisau sudah Edlyn jauhkan, berjaga-jaga jika ia menggila karena jawaban Arion nantinya
"Mi, dengerin Mika dulu." Pinta Arion memelas, jika seperti ini mereka akan sama-sama emosi dan berakhir buruk nantinya.
"Sama siapa saya tanya." Dengan tangan yang terkepal erat, Edlyn masih mencoba untuk menahan diri untuk tidak menampar atau bahkan melempar pisau ke arah anaknya.
"Fara." Jawab Arion.
Menunduk menatap kedua pahanya, Rumi menghela nafas pelan. Fara ya?
"Berapa lama?"
"Hampir setengah tahun."
Entah bagaimana Rumi harus membendung air matanya, yang jelas Rumi bangga pada dirinya sendiri. Tidak sekali pun Rumi pernah curiga kepada Arion. Ia sepenuhnya mempercayai Arion, berusaha meyakinkan diri bahwa Arion tidak akan bermain kotor, menggantungkan harapannya setinggi mungkin kepada pria itu, dan ternyata seperti ini akhirnya.
Setengah tahun.
Setengah tahun Rumi menghadapi kepura-puraan Arion? Dan setengah tahun itu juga Rumi menjadi badut penghibur pribadi untuk Arion.
"Udah ngapain aja kamu sama dia?" Jika tidak mengingat bagaimana perjuangannya melahirkan Arion, sudah pasti akan Edlyn tikam saja anak sulungnya ini.
Menggeleng, Arion menatap Edlyn penuh harap. "Ngga ngapa-ngapain."
"Sekali lagi. Udah ngapain aja?"
Arion terdiam, menghela nafas sebelum kembali menatap Edlyn yang masih duduk tenang di kursinya.
"Kissing."
"Kurang ajar!" Alden yang sedari tadi duduk tenang akhirnya tidak tahan. Beranjak dari duduknya dan berdiri tepat di hadapan Arion.
"Brengsek kamu ya." Maki Alden.
Rumi baru saja akan beranjak menahan apapun yang bisa saja akan Alden lakukan, tapi tertahan oleh tangan Exu yang menahan bahunya.
"Mending mereka langsung marah, kalau mereka diam, lebih parah. Biarin dulu." Cegah Exu.
"Setengah tahun kamu jadi bajingan tanpa mikirin perasaan orang lain dan sekarang kamu berani-beraninya ngomong dengan kepala yang terangkat gitu ke kami?" Mencengkram kerah kemeja Arion, entah bagaimana Alden harus mendeskripsikan perasaannya saat ini. Yang jelas ia begitu kacau.
Malu!
"Pi, aku gapapa. Aku baik-baik aja. Aku udah ngomongin ini sama Mas Arion." Rumi berbicara dari tempat duduknya. Tidak ingin pembicaraan ini menjadi lebih parah dan berakhir dengan Arion yang mati karena amukan kedua orang tuanya.
"Lihat?" Sinis Alden. Entah wanita seperti apa yang anaknya ini inginkan.
Arion lelah, dari yang tadinya menatap penuh rasa bersalah pada kedua orang tuanya. Kini menatap penuh kesal pada mereka, "dari awal juga aku ngga pernah minta dijodohin. Mami sama papi aja yang semangat nikahin aku sama orang yang bahkan ngga pernah aku liat satu kali pun."
"Apapun yang kalian bilang selalu aku dengerin, apa yang kalian minta selalu aku turutin. Bahkan nikahin orang lain pun tetap aku lakuin. Baru kali ini aku ngebantah buat keinginan aku sendiri. Seenggaknya, seenggaknya sekali aja aku ngga bisa ngelakuin apa yang bener-bener aku mau?" Kekesalan yang Arion pendam selama ini akhirnya keluar begitu saja, menatap penuh rasa lelah pada Alden yang sudah terbakar emosi.
"Aku capek, Pi." Ujar Arion.
Rumi menunduk menyembunyikan air matanya, seberusaha apapun Rumi selama ini ternyata Arion hanya berpura-pura. Pura-pura mencintainya, pura-pura menyukai kehadiran, dan berpura-pura bahagia.
Bodohnya Rumi baru sadar saat ini.
"Mau kamu yang mana yang ngga kita turutin? Kamu mau balap? Papi ijinin, papi sediain motor selagi kamu bisa jaga diri. Kamu mau kuliah jurusan yang kamu mau? Papi persilahin selagi kamu bertanggung jawab. Apa lagi? Ngga mau nerusin perusahaan papi? Ngga masalah. Kamu cuma perlu saling bantu sama adek kamu." Tak ada satu hal pun yang Alden larang dari keinginan anak-anaknya yang masih dalam kata wajar. Alden begitu mencintai mereka asal kalian tahu.
"Cukup untuk ngga jadi bajingan aja susah buat kamu? Udah papi bilang kalau kamu ngga bisa, balikin baik-baik. Jangan jadi bajingan gini." Lagi, satu pukulan Alden berikan pada wajah anak sulungnya. Selama ia hidup sebagai orang tua, baru kali ini Alden selepas ini. Baru kali ini juga Alden berani main tangan pada keluarganya.
"Gagal banget saya jadi orang tua buat kamu." Berlalu meningglkan Arion, Alden berjalan menaiki anak tangga. Lebih baik ia menjauh terlebih dahulu untuk saat ini.
"Mami ngga kecewa sama kamu. Mami kecewa sama diri mami sendiri. Bener, mami sama papi gagal jadi orang tua buat kamu." Berlalu menyusul Alden, Edlyn meninggalkan ruang keluarga. Entah bagaimana ia harus menghadapi Rumi setelah ini.
Exu bingung, entah harus bagaimana ia bereaksi. Disatu sisi Exu kecewa, sangat malahan. Disatu sisi, Exu begitu menjadikan Arion sebagai idolanya. Bagaimana bisa Exu marah jika seperti ini?
Menghela nafas, Exu berlalu menaiki tangga. Sedikit lagi, kepalanya akan meledak saat ini juga.
Berjalan menghampiri Arion, Rumi menahan isakannya. "Sini aku obatin." Ujar Rumi. Membawa Arion duduk kembali dengan ia sendiri yang berlalu menuju dapur. Meraih kotak P3K yang memang sengaja Edlyn letakan di sana.
Tidak ada yang berbicara diantara mereka, Rumi dengan kapas dan alkoholnya serta Arion dengan pikiran kalutnya.
"Aku minta maaf, maaf karna aku mas harus pura-pura selama ini. Ini yang terakhir, aku janji. Abis ini aku ngga bakal ganggu mas lagi, mas bebas mau ngapain. Maaf harus bikin mas terikat sama aku, semoga setelah ini mas lebih bahagia."
__
Nguehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Love Grows
FanfictionTidak pernah terpikir oleh Arion bahwa ia harus menikah diumur yang baru menginjak dua puluh tujuh tahun ini. Hidupnya selama ini baik-baik saja seorang diri. Bekerja dan membahas berbagai hal bersama dengan teman-teman solasinya. Bermain game, pus...