Ch. 53

243 33 9
                                    

Arion dan Edlyn sama terkejutnya, saling pandang untuk beberapa saat sebelum suara Arion terdengar bergetar karena rasa bersalahnya.

"Dek, bayi maksudnya? Adek... hamil?" Tanya Arion memastikan. Memegang kedua bahu Rumi untuk menatapnya dan menunggu jawaban.

Terisak sedih, Rumi menunduk dengan bahu yang bergetar. Bayinya yang ia jaga mati-matian pergi? Bayinya yang menjadi alasan Rumi hidup meninggalkannya?

Kenapa kebahagiaan Rumi tidak ada yang bertahan lama? Kenapa rasanya Rumi tidak pernah diberi jeda untuk merasakan kupu-kupu yang berterbangan di perutnya lagi.

"Bun." Lirih Rumi, "bayi kakak pergi. Bayi kakak pergi ninggalin kakak, Bun." Isak Rumi. Meremat selimut dengan kedua tangannya dan air mata yang sudah membasahi kedua pipi berisinya.

"Kakak kehilangan bayi kakak bunda." Isak Rumi.

Edlyn beranjak melangkah untuk mencari Abel, meminta penjelasan karena Abel tidak pernah membahas apapun soal kehamilan Rumi.

Baru saja akan membuka pintu ruang inap, Abel sudah masuk terlebih dahulu diiringi oleh Devin, Indri, dan juga Cherry.

Melihat Abel, Rumi langsung berteriak tidak terima. "Mana bayi aku? Kenapa dikeluarin? Ngga cukup cuma nyakitin aku selama ini?" Teriak Rumi.

"Maafin abang, abang ngga bisa nyelamatin bayi kamu. Abang minta maaf." Menunduk merasa bersalah, Abel tahu ia akan mendapatkan respon seperti ini dari Rumi. Mau bagaimanapun juga, Abel memang tidak bisa menyelamatkan bayi Rumi.

"Emang aku ngapain sampai kalian harus ngelakuin ini keaku? Ngga cukup aku aja selama ini? Kenapa bayi aku juga harus kalian jahatin." Isak rumi. Memegang lengan Arion yang tengah memeluknya dengan erat. Satu-satunya alasan Rumi untuk tetap hidup, sekarang sudah pergi meninggalkan Rumi.

Berdecak kesal, Indri memutar jengah bola matanya. Bersidekap dada tanpa rasa simpati sedikit pun dan menatap malas pada Rumi. "Lebay banget, anak siapanya juga itu ngga jelas." Sinis Indri.

Arion mengeraskan rahangnya, satu-satunya pria yang berada di dekat Rumi hanya dia, dan satu-satunya yang melakukan hal itu pada Rumi hanya dia. Bagaimana bisa wanita itu mengatakan hal sekejam itu pada istrinya?

"Maafin mas, mas bener-bener minta maaf." Bisik Arion. Menyembunyikan Rumi di balik dadanya dengan tangan yang mengusap pelan bahu Rumi.

Menggeram kesal, Rumi melepaskan pelukan Arion dan gerakan cepat meraih vas bunga pada sisi ranjangnya. Melemparkan begitu saja hingga tepat mengenai kepala Indri yang langsung berteriak sakit.

"HARUMI DEVINA!" Teriak Devin penuh amarah. Menatap nyalang pada anak tengahnya yang tengah terisak.

Tidak ada lagi rasa sakit yang Rumi rasakan, dadanya hanya dipenuhi dengan amarah hingga membuatnya berjalan mendekati Indri yang masih mengaduh kesakitan.

Dengan tangan yang menggenggam satu pecahan vas hingga membuat luka sobek pada telapak tangannya yang membuat tetesan darah mulai mengotori lantai kamar.

"Kalau bukan gegara dia, bunda aku ngga bakal mati sia-sia, kalau bukan gegara dia hidup aku masih akan baik-baik aja, kalau bukan gegara dia bayi aku masih tidur tenang di perut aku." Ujar Rumi. Menatap penuh dendam pada Indri yang tengah memegangi kepalanya, darah mulai terlihat menuruni dahi itu.

"Kamu pelacur sialan, mati aja kamu!" Teriak Rumi. Menarik kuat helai rambut Indri yang hanya berteriak menahan sakit meminta pertolongan. Semuanya sudah Rumi coba maklumi, tapi untuk anaknya... tidak bisa. Rumi tidak bisa hanya diam seraya menangis bodoh di sudut ruangan.

"Pantes Tuhan ngga mau ngasih kamu bayi, Tuhan tau kamu ngga pantas buat dapet anak. Itu hukuman Tuhan karna kamu udah ngerebut kebahagian orang lain, ngerusak keluarga orang lain, pelacur kek kamu ngga pantas hidup bahagia dari hasil ngerampas suami orang!" Teriak Rumi. Menarik kuat rambut Indri tanpa ampun dengan semua emosi yang sudah ia tahan selama ini.

The Way Love GrowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang